Kamis, 09 Mei 2013

BAHASA, KEBUDAYAAN DAN FIKIRAN




A.    Bahasa (Lughah)
Secara etimologi Bahasa (langue) dalam kajian linguistik arab berarti bunyi, dialek suatu kelompok dan ucapan. Sedangkan secara terminology dalam kajian sosiolinguistik bahasa (langue) yaitu sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat  tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya.[1] 
Taufiq Muhammad Syahin sendiri menyatakan bahwa  bahasa itu adalah suara  yang diungkapkan oleh seluruh kaum  dengan maksud dan tujuan  tertentu.[2] Dari defenisi di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bahasa itu adalah sesuatu yang diungkapkan oleh manusia dalam bentuk ((الصوت suara  atau lafal untuk  tujuan  tertentu sesuai dengan yang ada di alam fikiran penutur yang menjadi alat interaksi antar sesamanya dan akan melahirkan suatu komunikasi yang baik dalam masyarakat. Bahasa merupakan satu hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, karena dengan bahasa manusia dapat secara langsung mengungkapkan apa  yang ada dalam fikirannya baik itu dalam bentuk interaksi sesamanya maupun dalam bentuk curahan  yang dapat memajukan peradaban.
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya.

B.     Kebudayaan (Tsaqafah)
Dari segi etimologi Kebudayaan = cultuur (bahasa Belanda) = culture (bahasa Inggris) = tsaqafah (bahasa Arab); berasal dari bahasa latin “colore”  yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah dan bertani. Dari segi ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.[3]
Sedangkan dari segi terminologi E.B Taylor menyatakan bahwa kebudayaan adalah hal kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.[4]
Berdasarkan defenisi di atas Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Mentalited dan Pembangunan menjelaskan ada tujuh unsur kebudayaan yaitu:

  •   sistem religi,  
  •   sistem organisasi kemasyarakatan,   
  •  sistem pengetahuan, 
  •   bahasa,  
  • kesenian,  
  • sistem mata pencarian hidup, 
  • dan sistem tegnologi dan peralatan.[5]

Sedangkan dalam ilmu cultural anthropologhy kebudayaan (Tsaqafah) adalah sesuatau yang dimiliki oleh setiap manusia dalam mengimbangi “kebudayaan yang wujudnya mengitari seluruh aspek yang dibudayakan, dan yang serupa dengannya.[6] Dalam hal ini para pakar anthropologhy lebih mengidentikkan kebudayaan tersebut sesuatu yang ada dan dimiliki oleh masyarakat, dan sebagian mereka menggunakan sebuah istilah untuk hal ini “ al-Tsaqaafah al-Maadiyah” (material culture) yaitu segala adat-istiadat yang dipakai oleh suatu golongan , seperti kendaraannya, pakaiannya, dan lain-lain.
Sedangkan Ward Goodenouh sendiri memberi batasan bahwa kebudayaan merupakan pengetahuan yang diperoleh oleh suatu kelompok (Socially Acquired Knowledge). Hal ini  terlihat dalam ungkapannya sebagai berikut:
“saya tetap berpegang  bahwa kebudayaan suatu masyarakat merupakan sesuatu  yang tersusun dari segala sesuatu yang semestinya diketahui dan diyakini oleh setiap individu, sehingga dia dapat berinteraksi dalam lingkungan masyarakatnya dengan gaya bahasa yang diterima oleh individu lain. Ketika kebudayaan itu diartikan sesuatu yang semestinya dipelajari manusia dalam menghadapi jalan biologisnya yang telah diwarisi, maka semestinya pulalah hasil akhir yang kan meluruskan untuk belajar.”[7]
Dengan demikian kalau kebudayaan diartikan sebagai bagian dari pengetahuan, berarti dia tidak kan kita temukan kecuali dalam fikiran manusia (abstrak). Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat mengetahui seluas mana pengetahuan seseorang atau suatu masyarakat terhadap kebudayaan tersebut? Apakah  memungkinkan hal ini dapat kita teliti ? untuk menjawab hal ini diperlukan langkah-lanmgkah berikut ini:
  1. Kita dapat meneliti kebiasaan-kebiasaan yang ada pada manusia.
  2. Langsung wawancara terhadap masyarakat sejauh mana pengetahuan mereka terhadap budaya.
  3. Mengetahui lewat informan.

C.    Fikiran (Thought)
Dalam kamus Al-Wasith dijelaskan bahwa al-Fiqr itu adalah:
أعمال العقل فى المعلوم للوصول إلى معرفة مجهول.. [8]
Artinya: “berbagai aktifitas akal dalam memahami untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui.”
Kata al-Fikrah dalam kajian sosiolinguistik Arab mencakup beberapa hal yang muncul dari kegiatan akal yang terjadi dalam lingkup psikologi sadar (cognitive Psychology), yaitu kata الذاكرة (ingatan) dan الاستدلال (menarik kesimpulan, juga mencakup antara المفاهيم (pemahaman) dan القضايا (dalil, bukti), yang mana kedua hal merupakan bagian dari الذاكرة  dan الاستدلال .
D.    Hubungan Bahasa dengan Fikiran
Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas dari pada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, Keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannnya berbahasa. Seorang filosof kenamaan, Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka.[9]
Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia. Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran. Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
1.      lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2.      linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Keterkaitan antara bahasa dan pikiran dimungkinkan karena berpikir adalah upaya untuk mengasosiasikan kata atau konsep untuk mendapatkan satu kesimpulan melalui media bahasa. Beberapa uraian para ahli mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:
1.      Bahasa mempengaruhi pikiran. Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benyamin Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
2.      Pikiran mempengaruhi bahasa. Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya.
3.      Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi.[10] Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.
Hadson sendiri menyatakan ada empat hal yang  menjadi hubungan antara bahasa dengan fikiran (pemhahaman):
1.      Kesatuan bahasa adalah pemahaman
Hal ini  terbukti  ketika bahasa itu sebagai kumpulan dari suara, susunan, dan dilalah (makna) tertentu. Sebagai contoh pemahaman kata الفاكهة  (buah-buahan) yang akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana rasanya, dimana dia tumbuh, bagaiman bentuknya, dan lain-lain.
2.      Makna bahasa adalah pemahaman
Makna bahasa  yaitu sesuatu hal atau kejadian yang ditunjukkan oleh kata yang sesuai dengan kenyataan. Contoh dalam memahami kata قط ketika diucapkan oleh seseorang telah  tergambar dalam fikirannya sebelum mempelajari kata yang dia ungkapkan  tadi.
3.      Bahasa yang sesuai dengan kategori social adalah pemahaman (baca: fikiran).
4.      Makna suatu susunan kata adalah dalil atau asal (qadhayaa).
Kata-kata adalah bentuk pemberian pakaian pada realita faktual yang terjadi secara nyata. Pemberian ini dipengaruhi oleh faktor subjektifitas kebudayaan dan individu. Subjektifitas ini terlihat ketika manusia dari latar belakang yang berbeda memotong realita menurut kehendaknya sendiri. Manusia memotong dunia realitas dan mengklasifikasikan ke dalam kategori yang sama sekali berbeda berdasarkan prinsip yang sama sekali berbeda dalam tiap budaya. Kata Inggris, misalnya table (meja), meskipun bentuknya bundar atau persegi, di dalam pikiran orang Inggris menyatakan bahwa kedua benda tersebut esensinya merupakan satu dan sama karena melayani fungsi yang sama. Orang non Indo-Eropa tidaklah memotong realitas berdasarkan fungsinya, melainkan pada bentuk dasarnya: bundar, persegi, padat, atau cair. Bagi orang non Indo-Eropa kriteria tentang bentuk dan rupa adalah pasti, dalam menentukan apakah sebuah benda itu menjadi milik kategori ini atau kategori atau. Di mata masyarakat ini, meja bundar dan meja persegi adalah dua benda yang sama sekali berbeda sehingga harus ditunjukkan dengan nama yang berbeda pula.

E.     Hubungan Bahasa dengan Kebudayaan
Sebagaimana telah di jelaskan dalam defenisi bahasa bahwa Koentjaraningrat menyatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, artinya hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan  yang subordinatif, dimana bahasa di bawah lingkup kebudayaan. Namun kita tidak selamanya berpegang kepada pendapat ini, dalam defenisi lain kita  juga menemukan bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan  yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat. Bahkan Masinambouw malah menyebutkan bahwa bahasa (istilah belia kebahasaaan) dan kebudayaan merupakan dua system yang melekat pada manusia.[11] Kalau kebudayaan adalah suatu sisitem  yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu system  yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya  interaksi tersebut.
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, akan tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat koheren sekali, dan tidak dapat dipisahkan. Ada pula yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhui oleh kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin dalam bahasa. Sebaliknya, ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan, ini merupakan cara barfikir manusia atau masyarakat peanuturnya.
Untuk lebih jelasnya  bagaimana hubungan antara  bahasa, budaya dan fikiran mari kita amati anlogi berikut:



[1] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, Cet. Ke II, hal. 31
[2] Taufiq Muhammad Syahin, Ilmu al-Lughah al-‘Aam, Kairo: Maktabah wahbah, t.t, hal.13
[3] Abu Ahmadi, dkk, Ilmu Sosial Dasar, Rineka Cipta, Jakarta: 1990, hal. 50.
[4] Sidi Gazalba, Kebudayaan Sebagai Ilmu, Pustaka Antara, Jakarta: 1968, hal. 35
[5] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalited dan Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta: 1974, hal. 19.
[6] Hadson, Ilmu al- Lughah al-ijtimaa’iy, ‘Aalam al-kutub, Kairo: 1990, hal 119
[7] Ibid, hal. 120
[8] Mujamma;’ al-Lughah al-‘Arabiyah, Al-mu’jam al-Wasith, Kaiuro: Maktaba as-Syuruuq ad-Dauliyah, 2004, cet. 4, hal. 298
[9] Didownload dari  http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/h-33/pengaruh-bahasa-terhadap-pikiran.html, pada tanggal 21 Nov 2010, jam 16 WIB
[10] Ibid,
[11] Baca lebih lanjut Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op. Cit , hal. 165

Tidak ada komentar:

Posting Komentar