A. Bahasa (Lughah)
Secara etimologi
Bahasa (langue) dalam kajian linguistik arab berarti bunyi, dialek suatu
kelompok dan ucapan. Sedangkan secara terminology dalam kajian sosiolinguistik
bahasa (langue) yaitu sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh
sekelompok anggota masyarakat tertentu
untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya.[1]
Taufiq Muhammad
Syahin sendiri menyatakan bahwa bahasa
itu adalah suara yang diungkapkan oleh
seluruh kaum dengan maksud dan
tujuan tertentu.[2]
Dari defenisi di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bahasa itu adalah
sesuatu yang diungkapkan oleh manusia dalam bentuk ((الصوت suara atau lafal untuk tujuan
tertentu sesuai dengan yang ada di alam fikiran penutur yang menjadi
alat interaksi antar sesamanya dan akan melahirkan suatu komunikasi yang baik
dalam masyarakat. Bahasa merupakan satu hal yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya, karena dengan bahasa manusia dapat secara langsung
mengungkapkan apa yang ada dalam
fikirannya baik itu dalam bentuk interaksi sesamanya maupun dalam bentuk
curahan yang dapat memajukan peradaban.
Bahasa adalah medium tanpa batas yang
membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh
karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami
bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak
yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol
abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai
tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses
berpikir itu dilakukan olehnya.
B.
Kebudayaan (Tsaqafah)
Dari segi
etimologi Kebudayaan = cultuur (bahasa Belanda) = culture (bahasa Inggris) =
tsaqafah (bahasa Arab); berasal dari bahasa latin “colore” yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan
dan mengembangkan, terutama mengolah tanah dan bertani. Dari segi ini
berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk
mengolah dan mengubah alam.[3]
Sedangkan dari
segi terminologi E.B Taylor menyatakan bahwa kebudayaan adalah hal kompleks
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat dan
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.[4]
Berdasarkan defenisi di atas
Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Mentalited dan Pembangunan menjelaskan
ada tujuh unsur kebudayaan yaitu:
- sistem religi,
- sistem organisasi kemasyarakatan,
- sistem pengetahuan,
- bahasa,
- kesenian,
- sistem mata pencarian hidup,
- dan sistem tegnologi dan peralatan.[5]
Sedangkan dalam ilmu cultural anthropologhy kebudayaan
(Tsaqafah) adalah sesuatau yang dimiliki oleh setiap manusia dalam mengimbangi
“kebudayaan” yang wujudnya mengitari seluruh aspek yang dibudayakan, dan
yang serupa dengannya.[6]
Dalam hal ini para pakar anthropologhy lebih mengidentikkan kebudayaan tersebut
sesuatu yang ada dan dimiliki oleh masyarakat, dan sebagian mereka menggunakan
sebuah istilah untuk hal ini “ al-Tsaqaafah al-Maadiyah” (material
culture) yaitu segala adat-istiadat yang dipakai oleh suatu golongan , seperti
kendaraannya, pakaiannya, dan lain-lain.
Sedangkan Ward
Goodenouh sendiri memberi batasan bahwa kebudayaan merupakan pengetahuan yang
diperoleh oleh suatu kelompok (Socially Acquired Knowledge). Hal ini terlihat dalam ungkapannya sebagai berikut:
“saya tetap berpegang
bahwa kebudayaan suatu masyarakat merupakan sesuatu yang tersusun dari segala sesuatu yang
semestinya diketahui dan diyakini oleh setiap individu, sehingga dia dapat
berinteraksi dalam lingkungan masyarakatnya dengan gaya bahasa yang diterima
oleh individu lain. Ketika kebudayaan itu diartikan sesuatu yang semestinya
dipelajari manusia dalam menghadapi jalan biologisnya yang telah diwarisi, maka
semestinya pulalah hasil akhir yang kan meluruskan untuk belajar.”[7]
Dengan demikian kalau kebudayaan diartikan sebagai
bagian dari pengetahuan, berarti dia tidak kan kita temukan kecuali dalam
fikiran manusia (abstrak). Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat mengetahui
seluas mana pengetahuan seseorang atau suatu masyarakat terhadap kebudayaan
tersebut? Apakah memungkinkan hal ini
dapat kita teliti ? untuk menjawab hal ini diperlukan langkah-lanmgkah berikut
ini:
- Kita dapat meneliti kebiasaan-kebiasaan yang ada pada manusia.
- Langsung wawancara terhadap masyarakat sejauh mana pengetahuan mereka terhadap budaya.
- Mengetahui lewat informan.
C.
Fikiran (Thought)
Dalam kamus Al-Wasith dijelaskan bahwa al-Fiqr itu
adalah:
Artinya: “berbagai aktifitas akal
dalam memahami untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui.”
Kata al-Fikrah
dalam kajian sosiolinguistik Arab mencakup beberapa hal yang muncul dari
kegiatan akal yang terjadi dalam lingkup psikologi sadar (cognitive Psychology),
yaitu kata الذاكرة (ingatan) dan الاستدلال (menarik kesimpulan, juga mencakup antara المفاهيم
(pemahaman) dan القضايا (dalil, bukti), yang mana kedua hal merupakan bagian
dari الذاكرة dan الاستدلال .
D. Hubungan Bahasa dengan Fikiran
Ernst
Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan
simbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas dari pada sekedar homo sapiens.
Bagi Cassier, Keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada
kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannnya berbahasa. Seorang
filosof kenamaan, Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan
apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal,
secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van Wittgenstein, mengatakan
bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka.[9]
Sebuah
uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran
dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia
ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia.
Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental
orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan
pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran
manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran,
penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak
dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran. Sapir
dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk
dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan
dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
1. lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan
struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa
(nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang
yang menggunakan bahasa tersebut.
2. linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa
mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan
kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang
sudah ada dalam bahasa.
Keterkaitan antara bahasa dan pikiran dimungkinkan karena berpikir adalah
upaya untuk mengasosiasikan kata atau konsep untuk mendapatkan satu kesimpulan
melalui media bahasa. Beberapa uraian para ahli mengenai keterkaitan antara
bahasa dan pikiran antara lain:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran. Pemahaman terhadap kata
mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Tokoh yang mendukung hubungan ini
adalah Benyamin Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa
Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang
mempunyai banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan
bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
2. Pikiran mempengaruhi bahasa. Pendukung pendapat ini
adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget.
Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek
kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan
mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin
tinggi bahasa yang digunakannya.
3.
Bahasa dan pikiran saling
mempengaruhi.[10]
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh
Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya
dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran
saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas
banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.
Hadson
sendiri menyatakan ada empat hal yang
menjadi hubungan antara bahasa dengan fikiran (pemhahaman):
1.
Kesatuan bahasa adalah pemahaman
Hal ini terbukti
ketika bahasa itu sebagai kumpulan dari suara, susunan, dan dilalah
(makna) tertentu. Sebagai contoh pemahaman kata الفاكهة (buah-buahan) yang akan menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana rasanya, dimana dia tumbuh, bagaiman
bentuknya, dan lain-lain.
2.
Makna bahasa adalah pemahaman
Makna bahasa yaitu sesuatu hal atau kejadian yang
ditunjukkan oleh kata yang sesuai dengan kenyataan. Contoh dalam memahami kata قط
ketika diucapkan oleh seseorang telah
tergambar dalam fikirannya sebelum mempelajari kata yang dia ungkapkan tadi.
3.
Bahasa yang sesuai dengan kategori social adalah
pemahaman (baca: fikiran).
4.
Makna suatu susunan kata adalah dalil atau asal (qadhayaa).
Kata-kata
adalah bentuk pemberian pakaian pada realita faktual yang terjadi secara nyata.
Pemberian ini dipengaruhi oleh faktor subjektifitas kebudayaan dan individu.
Subjektifitas ini terlihat ketika manusia dari latar belakang yang berbeda
memotong realita menurut kehendaknya sendiri. Manusia memotong dunia realitas
dan mengklasifikasikan ke dalam kategori yang sama sekali berbeda berdasarkan
prinsip yang sama sekali berbeda dalam tiap budaya. Kata Inggris, misalnya
table (meja), meskipun bentuknya bundar atau persegi, di dalam pikiran orang
Inggris menyatakan bahwa kedua benda tersebut esensinya merupakan satu dan sama
karena melayani fungsi yang sama. Orang non Indo-Eropa tidaklah memotong
realitas berdasarkan fungsinya, melainkan pada bentuk dasarnya: bundar,
persegi, padat, atau cair. Bagi orang non Indo-Eropa kriteria tentang bentuk
dan rupa adalah pasti, dalam menentukan apakah sebuah benda itu menjadi milik
kategori ini atau kategori atau. Di mata masyarakat ini, meja bundar dan meja
persegi adalah dua benda yang sama sekali berbeda sehingga harus ditunjukkan
dengan nama yang berbeda pula.
E. Hubungan Bahasa dengan Kebudayaan
Sebagaimana telah di jelaskan dalam
defenisi bahasa bahwa Koentjaraningrat menyatakan bahwa bahasa merupakan bagian
dari kebudayaan, artinya hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan
hubungan yang subordinatif, dimana
bahasa di bawah lingkup kebudayaan. Namun kita tidak selamanya berpegang kepada
pendapat ini, dalam defenisi lain kita
juga menemukan bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang
sederajat. Bahkan Masinambouw malah menyebutkan bahwa bahasa (istilah belia
kebahasaaan) dan kebudayaan merupakan dua system yang melekat pada manusia.[11]
Kalau kebudayaan adalah suatu sisitem
yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan
adalah suatu system yang berfungsi sebagai
sarana berlangsungnya interaksi
tersebut.
Ada berbagai
teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu
merupakan bagian dari kebudayaan, akan tetapi ada pula yang mengatakan bahwa
bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan
yang sangat koheren sekali, dan tidak dapat dipisahkan. Ada pula yang
mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhui oleh kebudayaan, sehingga segala
hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin dalam bahasa. Sebaliknya, ada yang
mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan, ini merupakan cara barfikir
manusia atau masyarakat peanuturnya.
Untuk
lebih jelasnya bagaimana hubungan
antara bahasa, budaya dan fikiran mari
kita amati anlogi berikut:
[1] Abdul Chaer dan Leonie Agustina,
Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, Cet. Ke II,
hal. 31
[3] Abu Ahmadi, dkk, Ilmu Sosial
Dasar, Rineka Cipta, Jakarta: 1990, hal. 50.
[4] Sidi Gazalba, Kebudayaan
Sebagai Ilmu, Pustaka Antara, Jakarta: 1968, hal. 35
[6] Hadson, Ilmu al- Lughah
al-ijtimaa’iy, ‘Aalam al-kutub, Kairo: 1990, hal 119
[7]
Ibid, hal. 120
[8]
Mujamma;’ al-Lughah
al-‘Arabiyah, Al-mu’jam al-Wasith, Kaiuro: Maktaba as-Syuruuq ad-Dauliyah,
2004, cet. 4, hal. 298
[9] Didownload dari http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/h-33/pengaruh-bahasa-terhadap-pikiran.html,
pada tanggal 21 Nov 2010, jam 16 WIB
[10]
Ibid,
[11] Baca lebih lanjut Abdul Chaer
dan Leonie Agustina, Op. Cit , hal. 165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar