I.
Pendahuluan
Sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa
hadits/ sunnah adalah sumber utama dalam ajaran Islam setelah al-Qur’an. Hal
ini terjadi karena petunjuk-petunjuk
yang terdapat dalam al-Qur’an banyak yang bersifat umum dan global, sehingga memerlukan
penjelasan dan penafsiran. Tugas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an dan
cara-cara pelaksanaannya dibebankan oleh Allah kepada Rasulullah melalui hadits-hadits
atau sunnahnya. Oleh sebab itu, pantaslah Wahbah al-Zuhaili mengemukakan
bahwa “tidak akan ada sunnah tanpa al-Qur’an, sebab al-Qur’an tidak akan dapat
dioperasionalkan tanpa memperhatikan penjelasan sunnah”.
Seiring dengan perkembangan waktu dan perubahan sejarah, setelah
Nabi saw. wafat, sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an mendapat
tantangan, ada yang memalsukan dan ada pula yang menolak otoritas sunnah
sebagai sumber hukum Islam baik secara keseluruhan, maupun sebahagian kecil. Kelompok yang mengingkari sunnah ini disebut
dengan kelompok inkar al- sunnah.
Mereka hanya berpegang kepada al-Qur’an saja baik dalam menyelesaikan masalah
yang sifatnya muamalah maupun yang bersifat ibadah.
Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah,
kapan kelompok ini muncul pertama kali? Apa yang melatarbelakangi kemunculan
faham ini, padahal sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa hadits/ sunnah memiliki peranan yang
sangat signifikan dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga dia menjadi
sumber yang kedua dalam ajaran Islam? Lalu bagaimana tanggapan ulama ketika
mereka memproklamirkan diri bebas dari petunjuk sunnah Nabi saw.? Untuk
menjawab permasalah-permasalah ini maka penulis mencoba mengulasnya dalam
makalah singkat ini yang berjudul ”Inkar
al-Sunnah; Periode Klasik.
Sebenarnya awal munculnya faham inkar al-sunnah ini dalam Ensiklopedi
Islam dibedakan kepada dua masa, yaitu inkar
al-sunnah tempo dulu atau zaman
klasik (munkir as-sunnah qadim) dan
inkar al-sunnah periode abad modern (munkir
as-sunnah hadits). Dalam makalah ini penulis hanya akan menyajikan hal-hal yang berkenaan dengan
inkar al-sunnah pada masa klasik.
Sedangkan inkar sunnah pada masa modern akan dibahas dalam makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah
sederhana ini dapat menambah wawasan kita.
II.
Pembahasan
1.
Pengertian Inkar al-Sunnah
Ingkar sunnah terdiri
dari dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah. Ingkar, Menurut bahasa, artinya “menyangkal, tidak membenarkan atau tidak
mengakui dan orangnya disebut dengan mungkir”,[1] berasal darikata kerja, ankara-yunkiru. Menurut Ragif al Isfahani, inkar berarti
“penolakan hati terhadap hal-hal yang tidak tergambar olehnya, baik berupa penolakan
dengan lidah sebagai
ungkapan hati ( kebodohan ),
maupun penolakan dengan lidah sedangkan hati mengakui.”[2]
Sedangkan Sunnah, menurut bahasa
mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau
tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Sedangkan secara terminologi Ulama
hadits mendefenisikan sunnah sebagai semua yang muncul dari Rasulullah baik itu
perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat kemanusiaan atau akhlak atau jalan baik
sebelum menjadi rasul atau sesudahnya.[3]
Dari gabungan dua kata di atas (inkar dan sunnah), maka secara Secara
definitif Ingkar al-Sunnah dapat diartikan sebagai suatu nama atau
aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau
mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber dan dasar syari’at Islam.[4]
Sedangkan pengertian inkar al-sunnah secara terminology dalam kajian
ulum al-Hadits banyak pakar yang
mencoba memberikan definisikannya. Beberapa pendapat tersebut yang dianggap
penting dan defenitif menurut penulis
adalah sebagaimana berikut:
1) Dalam Ensiklopedi Islam yaitu
“orang-orang yang menolak sunnah atau hadits Rasulullah saw. sebagai
hujjah dan sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.”[5]
2) Edi Safri mendefenisikan bahwa inkar al-sunnah adalah
kelompok-kelompok tertentu yang menolak otoritasnya (sunnah) sebagai hujjah
atau sumber ajaran agama yang wajib ditaati dan diamalkan”.[6]
3) Sementara itu Lukmanul Hakim
mendefenisikan bahwa ingkar al-sunnah adalah gerakan dari kelompok-
kelompok umat Islam sendiri yang menolak otoritas sunnah sebagai hukum atau
sumber ajaran agama Islam yang wajib dipedomani dan diamalkan.[7]
4) Menurut Mustafa al- Siba`i yang dimaksud inkar al-sunnah ialah pengingkaran karena adanya keraguan tentang
metodologi kodifikasi sunnah yang menyangkut kemungkinan bahwa para perawi
melakukan kesalahan atau kelalaian atau muncul dari kalangan para pemalsu dan
pembohong.[8]
5) Orang-orang yang tidak mengakui atau menolak menjadikan sunnnah
Rasulullah saw. Sebagai rujukan dalam beribadah (beramal), baik ibadah mahdhah
maupun ibadah ghairu mahdhah. Dengan kata lain mereka hanya menjadikan al-Qur’an sebagai sebagai
pegangan atau dalil dalam melakukan kegiatan keagamaan.[9]
Berdasarkan beberapa defenisi yang disebutkan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa inkar al-sunnah adalah orang, kelompok dan paham yang menolak
eksistensi sunnah sebagai sumber hukum Islam
atau hujjah yang wajib ditaati dan diamalkan umat Islam, yang hal ini
otomatis akan berimplikasi pada pelaksanaan ibadah yang mereka lakukan, baik
itu ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah. Hal ini
dilatarbelakangi oleh keraguan orang atau kelompok tertentu tentang metodologi
kodifikasi sunnah yang menyangkut kemungkinan bahwa para perawi melakukan
kesalahan atau kelalaian atau muncul dari kalangan para pemalsu dan pembohong
Definisi di atas juga
mengindikasikan bahwa inkar al-sunnah adalah paham atau pendapat
perorangan atau paham kelompok, bukan gerakan dan aliran, ada kemungkinan paham
ini dapat menerima sunnah selain sebagai sumber hukum Islam, misalnya sebagai
fakta sejarah, budaya, tradisi, dan lain-lain. Sunnah yang diingkari adalah
sunnah yang sahih baik secara subtansial yakni sunnah praktis pengamalan
Alqur’an (sunnah ‘amaliyah) atau sunnah formal yang dikodifikasikan para
ulama meliputi perbuatan, perkataan, dan persetujuan Nabi. Bisa jadi
mereka menerima sunnah secara substansial tetapi menolak sunnah formal atau
menolak seluruhnya.
Hal ini
diperjelas oleh Imam Syafi’i bahwa pada hakikatnya mereka disebut sebagai penganut
faham inkar al-sunnah itu terdiri atas tiga kelompok dengan tiga sikap yang berbeda, yaitu:
1.
Mereka
yang mneolak hadits-hadits Rasulullah secara keseluruhan, baik yang mutawatir
maupun ahad, baik sahih maupun tidak.
2.
Mereka
yang menolak hadits-hadits Rasulullah, kecuali hadits-hadits yang mengandung
ajaran yang ditemukan nashnya dalam al-Qur’an.
3.
Mereka
yang menolak hadits ahad dan hanya menerma hadits mutawatir saja.[10]
Berdasarkan
pengelompokan di atas terlihat bahwa ingkar al-sunnah bukan berarti haya
mengingkari sunnah secara keseluruhan, tetapi juga
sebagiannya. mereka
bisa jadi menolak keseluruhan sunnah baik sunnah mutawatirah dan ahad
atau menolak yang ahad saja dan atau sebagian saja. Demikian juga
penolakan sunnah tidak didasari alasan yang kuat, jika dengan alasan yang dapat
diterima oleh akal yang sehat, seperti seorang mujtahid yang menemukan dalil
yang lebih kuat dari pada hadis yang ia dapatkan, atau hadis itu tidak sampai
kepadanya, atau karena kedhaifannya, atau karena ada tujuan syar’i yang lain,
maka tidak digolongkan Ingkar Sunnah.
Dengan demikian
muncul pertanyaan, kenapa Syafi’i membaginya ke dalam tiga kelompok ini? Kuat
dugaan, Syafi’i melihat fenomena ingkar al-Sunnah berdasarkan sejarah
perkembangan ingkar al-Sunnah tersebut
sepanjang yang dapat di deteksi dari perilaku orang-orang atau kelompok yang
menyatakan diri sebagai orang atau kelompok yang sunnah Rasul tidak dijadikan
sebagai rujukan dalam melakukan kegiatan
keagamaan.
Setiap kelompok dari kelompok munkir al-sunnah
mempunyai argumen sendiri, yang mendukung dan menguatkan gerakan mereka. Kalau
dilihat secara global sebenarnya
gerakan inkar sunnah hanya dua kelompok saja,
yaitu kelompok yang mengingkari
seluruh sunnah, dan kelompok yang mengingkari sunnah ahad dan menerima sunnah
mutawatir, karena antara kelompok pertama dan kedua yang ada pada pengelompokan
di atas tadi pada prinsipnya sama, karena kelompok pertama inkar kepada sunnah
dan hanya berpegang kepada al-Qur’an saja dan kelompok kedua inkar kepada
sunnah kecuali sunnah yang ada kandungan nash al-Qur’an.
Sulit
dibayangkan bagaiman sistem beribadah
dan beramal bagi mereka yang menolak smunnah Rasul, karena pada dasarnya sunnah
berfungsi menjelaskan al-Qur’an, karena al-Qur’an berisi aturan (perintah dan
larangan) yang masih global dan membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut,
keterangan dan rincian dari Rasulullah yang dinamakan hadits.
2.
Sejarah Kemunculan Inkar Sunnah (Periode Klasik)
Mengenai akan munculnya kelompok inkar sunnah sebenarnya jauh sebelumnya Rasulullah telah
mewanti-wanti, bahwa pada suatu sa’at akan muncul orang-orang yang merasa cukup
berpegang kepada al-Qur’an saja, hal ini terlihat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad Bin Hambal:
حدثنا يزيد بن هارون قال أخبرنا حريز عن عبد
الرحمن بن أبي عوف الجرشى عن المقدام بن معدوى كرب الكندى قال: قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم ألا إنى أوتيت القرآن ومثله معه لا يوشك رجل على أريكته يقول عليكم
بالقرآن فما وجدتم فيه من حلال فأحلوه وما وجدتم فيه من حرم فحرموه.[11]
Artinya: “Yazin bin Harun menceritakan kepada
kami…..Rasulullah saw. bersabda: ingatlah, al-Qur’an dan hal yang seperti
al-Qur’an-yaitu hadits- telah diturunkan kepadaku. Waspadalah! Kelak akan
muncul orang yang perutnya kentyang, ia bermalsa-malas di atas kursinya. Ia
mengatakan; pakai al-Qur’an saja, apabila di situ ada keterangan yang
menghalalkan maka halalkanlah, dan jika mengharamkan maka haramkanlah.”
(HR: Ahmad)
Mengenai kapan
munculnya pertama kali kelompok inkar sunnah
ini tidak dapat diketahui dengan pasti. Berdasarkan fakta sejarah bahwa
di zaman Rasulullah saw. tidak ada umat Islam yang menolak sunnah Nabi sebagai
salah satu sumber hukum dalam Islam.
Artinya tidak ada bukti sejarah yang dapat diperpegangi untuk menjelaskan bahwa apada masa
Rasulullah telah muncul kelompok yang mengingkari sunnah tersebut. Demikian
pula di zaman khulafahur al- Rasyidin (632-661 M) dan masa Bani Umayyah
(661 – 750 M) belum ada tampak secara nyata kelompok yang menginkari sunnah
Nabi sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur`an.[12]
Menurut Imam
Syafi’i, kelompok inkar al-sunnah muncul di penghujung abad ke dua atau awal abad
ketiga Hijriyah pada saat pemerintah Bani Abbasiyah (750 – 932 M). Pada masa
ini mereka telah menampakkan diri sebagai kelompok tertentu dan melengkapi diri
dengan berbagai argument untuk mendukung pahamnya untuk menolak eksistensi dan
otoritas sunnah sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan
diamalkan.[13]
Pada zaman itu,
paham yang menginkari sunnah belum dapat diidentifikasi berasal dari kelompok
mana karena Imam Syafi’i tidak menjelaskan namanya akan tetapi ia mengisyaratkan bahwa mereka kebanyakan
berada di Basrah (Irak). Kelompok inilah yang ditentang Imam Syafi’i dengan
gigih memperjuangkan sunnah sehingga ia dijuluki Nashir al-Sunnah (pembela sunnah). Karena kesungguhan Imam Syafi’i
memperjuangkan sunnah dengan berbagai argument akhirnya ia berhasil menyadarkan
para penginkar sunnah dan membendung gerakan inkar al-sunnah dalam waktu yang
sangat panjang. [14]
Namun demikian,
dari beberapa literatur disebutkan bahwa
embrio inkar al-Sunnah tersebut telah ada sejak masa sahabat. Menurut M.M. Azhami bibit munculnya
faham inkar al-sunnah sudah ditemukan pada masa sahabat di daerah Irak.
Hal ini berdasarkan kepada beberapa riwayat yang menjelaskan adanya sahabat
yang tidak menaruh perhatian terhadap kedudukan sunnah sebagai sumbera ajaran
agama. Di antara riwayat tersebut adalah ketika Imran bin Husain mengajarkan hadits,
ada seseorang yang minta agar tidak ush mengajarkan hadits, tetapi cukup al-Qur’an
saja. Lalu Imran menjawab “Kamu dan sahabat-sahabatmu dapat membaca al-Qur’an,
maukah kamu mengajarkan shalat dan syarat-syaratnya kepadaku? Atau zakat dan
syarat-syaratnya?. Kamu sering absen padahal Rasulullah telah mewajibkan zakat
begini-begini. Lalu orang tadi menjawab: “terima kasih engkau telah mengidupkan
kesadaran saya.[15]
Hal serupa juga
terjadi pada Umayyah bih Khalid, diman ia mencoba mencari seluruh permasalahan
dengan merujuk kepada al-Qur’an saja. Akhirnya ia berkata Abdullah bi Umar
bahwa di dalam al-Qur’an ia hanya menemukan masalah shalat di rumah dan shalat
pada waktu perang saja, sedang masalah shalat dalam perjalanan tidak ditemukan.
Abdullah bin Umar menjawab, “wahai kemenakanku, Allah telah mengutus Muhammad saw.
dan kita tidak tahu apa-apa, kita hanya mengerjakan apa yang Nabi kerjakan.[16]
Kedua riwayat
di atas menjelaskan tentang bibit munculnya inkar al-sunnah di masa
sahabat, sedang inkar al-sunnah itu sebdiri muncul pertama kali di
penghujung abad kedua hijriah. Gerakan itu muncul dalam bentuk kelompokm
tertentu dan telah melengkapi diri dengan berbagai argumen untuk mendukung
pendirian mereka menolak otoritas hadits Nabi SAW sebagai hujjah atau sumber
ajaran agama yang wajib diperpegangi dan diamalkan.
Pada masa
selanjutnya, dalam berbagai bentuk, ingkar al-Sunnah ini terus
berkembang sampai hari ini. Berdasarkan informasi dari kitab al-farq baina
al-firaaq karangan Abdul Qadir al-Bagdadi, Mustafa al-Siba’i berkesimpulan
bahwa kaum Khawarij termasuk kelompok ingkar al-Sunnah. Khawarij
berpendapat bahawa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum terjadinya
fitnah yaitu pergolakan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah, diterima
sebagai dalail dalam hadits yang mereka (shabat) riwayatkan tidak dapat
diterima.[17] Berbeda dengan al-Siba’i, M.M. Azami
menganggap al-Siba’i terlalu tergesa-gesa. Untuk itu pernyataan al-Siba’i perlu
ditinjau kembali. Setidaknya perlu dilacak lagi informasi lain yang mendukung data yang menyatakan bahwa
Khawarij dapat dikatakan Mungkir
al-Sunnah.
Pendapat M.M.
Azami sangat beralasan, yang mana disebabkan oleh berbagai pergolakan yang
terjadi pada zamannya telah menyebabkan kitab-kitab yang ditulis oleh kaum
Khawarij sudah punah bersamaan dengan hilangnya kelompok ini dari percaturan
politik, kecuali sekte Ibadhiyah, yang merupakan salah satu sekte yang
ada dalam kelompok Khawarij. Dari sekti Ibadhiyah ini, setelah dilakukan
pelacakan yang serius terhadap tulisan-tulisannya, diketahui bahwa mereka
menerima hadits nabawi.di antara mereka juga diketahui pernah meriwayatkan
hadits-hadits yang berasal dari Ali, ‘Aisyah, Usman, abu Hurairah, Anas bin
Malik dan lainnya.[18]
Selanjutnya, Muhammad al-Khudari berpendapat bahwa orang-orang yang
dihadapi oleh Imam Syafi’i dari kalangan teolog Mu’tazilah karena diketahui
dalam sejarah Basrah saat itu merupakan pusat kegiatan ilmu pengetahuan yang
menyangkut ilmu kalam. Di kota inilah
berkembang paham dan
tokoh - tokoh Mu’tazilah yang
dikenal aliran rasional dalam
Islam dan banyak mengkritik ahli hadits. Jadi awal munculnya gerakan inkar
al-sunnah menurut pendapat al-Khudari adalah kelompok aliran Mu’tazilah.[19]
Abu Zahrah
menolak tuduhan asal mula munculnya aliran inkar
al-sunnah yang dimotori oleh Mu’tazilah
karena mereka tetap mengakui dan menerima
hadits-hadits Rasulullah sebagai sumber hukum Islam. Tetapi menurut Abu
Zahrah bahwa inkar al-sunnah adalah orang-orang zindik yang lahirnya meyakini
Islam tetapi batinnya ingin menghancurkan Islam.[20]
Dari keterangan
di atas tampaknya yang paling dapat diterima awal munculnya kelompok inkar
al-sunnah berawal dari kelompok kaum zindik bukan dari kelompok Mu’tazilah
karena aliran mereka tetap meyakini dan menerima hadits Rasulullah sebagai
hujjah atau sumber hukum Islam walaupun terkadang meragukan keshahihan suatu
hadits atau menolak hadits yang tidak memenuhi standar penilaian mereka. Oleh
sebab itu meragukan tingkat keshahihan suatu hadits tidak berarti menolak
eksistensi dan otoritas sunnah sebagai sumber hukum Islam.
3.
Aliran Islam dan
Inkar al-Sunnah
Tentang siapa penmgingkar sunnah dan dari golongan
mana, penulis tidak dapat menyebutkannya satu-persatu dalam makalah ini, karena
tidak ada literatur yang menerangkan secara rinci siapa-siapa dan dari golongan
mana yang termasuk pengingkar sunnah pada periode klasik ini. Imam Syafi’i
sendiri yang hidup pada masa munculnya gerakan pengingkar sunnah ini tidak
menyebutkan dan merinci siapa-siapa yang terlibat ini. Namun di sini penulis akan
mengulas sedikit mengenai tanggapan aliran-aliran theology Islam yang
berkembang pada masa ini terhadap sunnah, seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan
Syi’ah.
a)
Pandangan
Khawarij terhadap sunnah
Khawarij muncul
pada masa sahabat, yaitu pada masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka pada mulanya merupakan pengikut Ali, namun
mereka memisahkan diri/ keluar dari kelompok Ali karena tidak setuju dengan
cara tahkim yang dipergunakan Ali
dalam menyelesaikan pertikaian antara kelompok Ali dan Mu’awiyah pada perang
Siffin. Sehingga kelompok Ali pun memerangi kelompok khawarij ini. Dalam satu
peperangan antara Khawarij dengan kelompok Ali, salah seorang pengikut Khawarij
yaitu Abd. Al-Rahman bin Muljam dapat
membunuh Ali.[21]
Menurut al-Siba’i
bahwa kaum Khawarij memandang bahwa semua sahabat sebelum terjadinya fitnah
adalah jujur. Tapi kemudian setelah terjadinya fitnah mereka mengkafirkan Ali,
Usman, mereka yang terlibat dalam peristiwa Unta dan dalam tahkim serta
siapa saja yang menerima tahkim itu dan dapat membenarkannya. Mulai saat
itu Khawarij menilai bahwa sahabat tidak lagi dipercaya.
Dari ungkapan
di atas nampaknya al-Siba’i condong mengatakan bahwa kaum Khawarij menolak dan
mengingkari haadits-hadits nabi yang diriwayatkan oleh bebrapa sahabat setelah
terjadinya fitnah, khususnya Ali, Usman, dan sahabat yang terlibat dalam perang
Unta (Jamal) serta mereka yang
terlibat dalam tahkim dan mneyetujuinya. Kalau benar demikian
maka Khawarij termasuk ke dalam golongan pengingkar sunnah, walaupun bukan
kategori pengingkar sunnah yang dikemukakan imam Syafi’i.
Menurut Azami pendapat al-siba’i ini perlu ditinjau lagi, karena
kitab-kitab yang ditulis oleh kaum Khawarij telah punah seiring punahnya golongan
ini, yang ada hnaya kelompok Ibadhiyah.[22]
Berdasarkan kitab-kitab yang dikarang oleh kelompok ini ternayata mereka
menerima hadits Nabi dan mereka meriwayatkan hadits-hasits yang diperoleh dari
Ali, Usman, ‘Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lainnya.mereka juga
menerima hadits ahad.
Nampaknya Azami berusaha mengungkapkan bukti bahwa kaum Khawarij tidak
anti terhadap hadits, baik sebelum tahkim maupun sesudahnya. Menurut penulis pendapat al-Siba’I dan Azami ada
benarnya. Bisa jadi kelompok Khawarij yang ekstrim yang muncul pada saat terjadinya tahkim tidak percaya pada sahabat yang
terlibat dalam tahkim dan menolak semua hadits yang mereka riwayatkan, sedangkan Ibadhiyah adalah kelompok kawarij yang moderat,
kemungkinan besar mereka menerima dan mengamalkan hadits baik sebelum tahkim maupun sesudahnya.
b) Pandangan Mu’tazilah terhadap sunnah
Sulit memastikan sikap kaum Mu’tazilah terhadap sunnah, karena ada
kesimpang-siuran informasi yang diperoleh. Kemjungkinan besar di antara
sekte-sektte Mu’tazilah ada yang memakai sunnah dan ada yang menolak seperti
yang dikemukakan oleh al-Siba’I, al-Nadhdham salah seorang pemuka Mu’tazilah
(Abu ishaq bi Yasar) mengingkari riwayat tentang mukjizat Nabi saw. seperti
beliau membelah rembulan, bertasbihnya kerikil di tangan beliau, dan
memancarnya air dari celah-celah jemari beliau. Ini salah satu contoh bahwa ada
kelompok dari mu’tazilah yang mengingkari sunnah. Di pihak lain banyak pemika
Mu’tazilah yang menyalahkan al-Nadhdham, bahkan menganggap al-Nadhdham itu
kafir.[23]
c) Pandangan kaum syi’ah terhadap sunnah
Syi’ah adalah aliran politik pendukung Ali, yang sudah muncul pada
akhir pemerintahan Usman, kemudian berkembang pada masa Ali. Kelompok Syi’ah
menganggap bahwa mayoritas sahabat setelah Nabi wafat sudah murtad, mereka
mendiskualifikasi Abu bakar, Umar, dan Usman serta umumnya para sahabat yang
mengikuti mereka begitu juga sahabat-sahabat yang terlibat perampasan kekuasaan
dari Ali . oleh karena itu kaum Syi’ah tidak mau menerima hadits dari shabat
kecuali dari penginkut Ali dan Ahl al-Bait.[24]
Jadi sangat sedikit hadits-hadits dari sahabat yang diterima oleh
kelompok Syi’ah. Namun dalam hal ini kita sulit memvonis bahwa kaum Syi’ah
adalah munkir
al-Sunnah, karena
metode penilaian sunnah sudah berbeda. Mereka menganggap bahwa mereka mengikuti
sunnah Nabi, tetapi sunnah yang diriwayatkan oleh Ahl al-Bait.
Luqmanul
Hakim menyatakan bahwa Syi’ah tidak terlibat dengan gerakan inkar al-sunnah
dengan bebrapa pertimbangan:
1. Ada
bebrapa sekte Syi’ah yang telah menyimpang dari ajaran Islam, dan sudah
dianggap kafir oleh kelompok syi’ah yang lain, meskipun mereka tidak menerima
hadits mereka tidak bisa disebut kelompok pengingkar sunnah karena mereka juga
telah meyalahi al-Qur’an. Sedangkan yang disebut kelompok inkar al-sunnah adalah kelompok yang berpegang kepada al-Qur’an
saja dan menyampingkan sunnah.
2. Aliran-aliran
syi’ah yang moderat seperti Itsna Asyariyah, tetap menerima dan mengamalkan
hadits, meskipun sistem penilaian dalam penerimaan sunnnah berbeda dengan ulama
hadits yang lain.[25]
4.
Argumen Pengingkar
Sunnah
Pada zaman imam
Syafi’i (wafat 204 H/ 820 M), golongan inkar al-sunnah telah muncul. Al-Syafi’i
telah menulis bantahan terhadap argumen-argumen meraka dan membuktikan
keabsahan hadits sebagai salah satu sumber ajaran islam. Ulama pada masa
berikutnya mengelar Imam Syafi’i sebagai
“pembela hadits” (nashir al-hadits) atau “pembela sunnah” (nashir al-sunnah;
multazim al-sunnah). Sesudah zaman al-Syafi’i, masih timbul juga golongan
inkar sunnah tersebut. Mereka menyatakan, sumber ajaran islam itu hanya satu
macam saja, yakni al-Qur’an. Demikian juga di Indonesia dan Malaysia, muncul
orang yang mengaku beragama islam tetapi berfaham inkar sunnah.
Di antara faktor
yang mendorong munculnya faham inkar sunnah tersebut ialah ketidak fahaman
mereka terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan ilmu hadits. Faktor ini
tidak hanya terlihat pada mereka yang
berfaham inkar sunnah pada masa al-Syafi’i saja, melainkan juga pada masa
berikutnya, termasuk di dalamnya kelompok pengingkar sunnah di Indonesia dan
Malaysia.
Secara
keseluruhan argumen-argumen yang di ajukan oleh pengingkar sunnah memang cukup
banyak. Argumen-argumen tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Yaitu
argumen naqli (qur’an dan hadits Nabi) dan non-naqliy.
Argumen naqli yang mereka kemukakan cukup bayak juga,
yang terpenting diantaranya adalah:
1.
و
أنزلنا عليك الكتب تبيــــانا لكل شيء...... (النحل: 89)
Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk
meenjelaskan segala sesuatu…. (an-Nahl: 89)
Ayat yang lain semakna dengannya:
ما
فرطنــــا في الكتب من شيء.... (الأنعــــــام: 38)
Artinya: “Tidak kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab….(al-An’aam:
38)
Menurut mereka kedua ayat di atas menunjukkan bahwa al-Qur’an telah
mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan agama. Keterangan lain misalnya,
hadits (sunnah) tidak diperlukan. Shalat wajib yang harus didirikan lima waktu
dalam sehari semalam dan hal-hal yang berkenaaan dengannya dasarnya bukan
hadits Nabi, melainkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini termaktub misalnya dalam
surat al-baqarah: 283, hud: 114, al-Isra: 78, dan 110, Thaha: 130, al-Hajj: 77,
al-Nur: 58, dan al-Rum: 17-18. Mereka menyatakan al-Quran diwahyukan oleh Allah
dalam bahasa Arab. Mereka yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang
bahasa Arab akan mampu memahami Qur’an dengan baik tanpa bantuan hadits.
2.
Ada
hadits Nabi yang menyatakan, bahwa pada suatu masa akan bertebaran berita yang
disandarkan kepada Nabi. Nabi memberi petunjuk agar berita-nerita tersebut
dikonfirmasikan dengan al-Qur’an. Apabila berita itu sesuai dengan al-Qur’an,
berarti berita itu berasal dari Nabi; dan kalau ternyata berita itu
bertentangan dengan al-Qur’an berarti berita
itu tidak berasal dari Nabi. Menurut mereka, berdasarkan riwayat
tersebut maka yang harus diperpegangi bukanlah hadits Nabi, melainkan
al-Qur’an. Jadi dalam hal ini hadits tidak
berstatus sebagai sumber ajaran Islam.[26]
Kelemahan argumen ini adalah sebagaimana berikut:
1.
Kata
tibyan dalam surat an Nahl: 89 menurut Imam Syafi’i mencakup beberapa segi
pengertian:
-
Ayat
qur’an secara tegas menjelaskan adanya:
a.
Berbagai
kewajiban, seperti shalat, puasa, haji, dll.
b.
Berbagai
larangan, seperti larangan berbauat zina, minum minuman kearsa, berjudi, dll.
c.
Tekni
pelaksanaan ibadah tertentu, misalnya tata cara berwudhu.
-
Ayat
al-Qur’an menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global, misalnya
kewajiban shalat; dalam hal ini Hadits Nabi menjelaskan teknisnya.
-
Nabi
menjelaskan suatu ketentuan yang dalam al-Qur’n ketentuan itu tidak ditemukan
secara tegas. Ketentuan dalam hadits tersebut wajib dita’ati, sebab Allah memerintahkan
kepada orang-orang yang beriman untuk menta’ati Nabi.
-
Allah
mewajibkan kepada hambanya untuk melakukan ijtihad. Kewajiban melaksanakan
ijtihad sama kedudukannya dengan kewajiban menaati perintah lainnya yang telah
ditetapkan oleh Allah bagi mereka yang memenuhi syarat.[27]
2.
Kata
al kitab dalam surat al-An’aam: 38 di atas menurut ulama berari al-Qur’an, dan
menurut ulama lain berarti lauh
al-mahfudz. Menurut pendapat
pertama, dalam al-Qur’an telah terdapat semua ketentuan agama.
Ketentuan-ketentuan itu ada yang bersifat global dan ada yang rinci. Ketentuan
yang global dijelaskan rinciannya oleh Nabi melalui haditsnya. Apa yang
dikatakan Nabi wajib dita’ati orang yang beriman. Pendapat yang mengartikan lauh
al-mahfudz sesuai dengan maksud konteks ayat yang bersangkutan. Dalam ayat
itu Allah menerangkan bahwa semua
binatang yang melata dan burung yang terbang dengan kedua sayapnya adalah umat
juga sebagaiman manusia. Allah telah menetapkan rizkinya, ajalnya dan
perbuatannya di lauh al mahfudz. Jadi ayat ini tidak menunjukkan bahwa
hadits Nabi tidak diperlukan.
3.
Memang
benar Qur’an tertulis dalam bahasa Arab. Orang yang ingin dapat memahami
kandungan al-Qur’an dengan baik, walaupun orang itu memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang bahasa Arab, tetap memerlukan penjelasan-penjelasan dari
hadits Nabi.[28]
4.
Hadits
yang dikemukakan sebagai argumen untuk menolak hadits oleh mereka yang berfaham
inkar al sunnah di atas tidak cukup
banyak sanadnya. Setelah diteliti oleh Ali bin Ahmad bin Hazm (wafat 456
H/ 1063 M) dan abu Bakr Ahmad al Bayhaqi (wafat 458 H/ 1066 M) ternya semua
sanad hadits itu berkualitas lemah. Kelemahannya karena ada yang sanadnya
terputus, periwayatnya tak dikenal, bahkan ada yang meriwayatkan tertuduh
dusta.
Adapun dalin non-naqli yang diajukan para pengingkar al-Sunnah
adalah :
1.
Dalam
sejarah, umat islam mengalami kemunduran. Mereka mundur karena mereka terpecah
belah. Perpecahan terjadi karena umat islam berpegang pada hadits Nabi. Jadi
Hadits Nabi merupakan sumber kemunduran umat Islam.
2.
Asal
mula hadits Nabi yang dihimpunkan dalam kitab-kitab hadits adalah
dongeng-dongeng semata. Sebab hadits Nabi lahir setelah lama Nabi wafat. Dalam
sejarah, sebagian hadits baru muncul pada masa tabi’in dan tabi’
al-tabi’in, yakni sekitar empat puluh
atau lima puluh tahun sesudah Nabi wafat. Hadits shahih al-bukhari dan
shahih al-muslim, adalah kitab-kitab yang menghimpun berbagai hadits palsu. Di
samping itu, banyak matn hadits yang terdapat dalam berbagai kitab hadits,
isinya bertentangan satu sama lainnya dan bahkan tidak sedikit yang
bertentangan dengan al-Qur’an dan logika.
3.
Kritik
sanad yang dikenal dalam ilmu hadits sangat lemah untuk menentukan kesahihan
hadits. Dasarnya
a.
Dasar
kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah ‘ilm al-jarh
wa al ta’dil (ilmu yang membahas tentang ketercelaan dan keterpujian periwayat
hadits), baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat. Ini berarti, para
periwayat generasi sahabat nabi, tabi’in
dan tabi’ tabi’in tidak dapat ditemui dan diperiksa lagi.
b.
Seluruh
sahabat Nabi sebagai periwayat hadits pada generasi pertama dinilai adil oleh
ulama hadits pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat hijriyaha. Dengan
konsep ta’dil al shahabah, para shabat Nabi dinilai terlepas dari
kesalahan dalam melaporkan hadits.[29]
Sebagai tokoh pembela hadits dari rongrongan kelompok inkar al-sunnah,
Imam Syafi’i berhasil mematahkan argument-argumen mereka dalam suatu dialog
antara Imam Syafi’i dengan keolmpok tersebut. Dari hasil dialog itulah dapat
diketahui bahwa kelompok inkar al-sunnah mempunyai dua macam argumenttasi,
pertama argumentasi mereka dalam menolak hadits secara umum, dan kedua
argumentasi mereka dalam menolak hadits ahad saja. Kedua macam argumentasi
tersebut dapat dibantah oleh Imam Syafi’i dengan argumentasi yang sangat jitu,
yang akhirnya kelompok inkar al-sunnah meyakini kebenaran argumentasi Imam
Syafi’i dan kembali mengakui ootritas sunnah sebagai sumber hukum.
Adapun argument-argumen bantahan Imam Syafi’i dapat dibagi kepada
dua bagian, pertama bantahan al-Syafi’i terhadap aargumen yang inkar kepada
seluruh sunnah, dan kedua adalah bantahann al-Syafi’i terhadap argument mereka
yang yang inkar kepada hadits ahad.[30]
Bantahan terhadap argument secara umum adalah:
1.
Banyak
ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar umat Islam selalu patuh dan ta’at kepada Rsulullah. Di antara ayat-ayat
tersebut adalah surat an-Nisaa’: 65 dan 80, suarat al-Hasyr: 7. Dari ayat di
atas dapat disimpulkan mafhum mukhalafahnya “sipa yang tidak ta’at kepada Rasul
berarti tidak ta’at kepada Allah.”
Bagi mereka yang tidak bertemu langsung dnegn Rasulullah atau hidup
setelah Rasulullah wafat, mereka harus menerima keterangan tentang ajaran yang
disampaikan oleh beliau melalui periwayatan, dan riwayat yang disandarkan
kepada Rasulullah itu adalah hadits, oleh karena itu setiap umat Islam harus
menerima, memahami, dan mengamalkan hadits Rasulullah, dalam upaya mengamalkan
ayat-ayat yang mmerintahkan untuk selalu patuh dan ta’at kepada Rsulullah.
Bantahan al-Syafi’i terhadap argument yang inkar kepada hadits
ahad:
1.
Untuk
menunjukkan kekeliruan pandangan kelompok inkar al-sunnah bahwa hadits ahad itu
zany, dan yang zany itu tidak patut dijadikan hujjah, al-Syafi’I mengemukakan
berbagai argumentasi yang dapat dirangkum sebagai berikut:
a)
Para
pengingkar sunnah tidak konsisten dengan argumennya, dari satu sisi mereka tidak
menerima kehujjahan hadits ahad dengan alasan nilainya zanny, di sisi lain
mereka menrima dan berhujjah dengan keterangan saksi yang nilainya juga zanny.
Bahkan tingkat kebenarannya dapat dikatakan di bawah hadits ahad (yang maqbul)
karena persyaratan yang dituntut
terhadap para periwayat hadits jauh lebih ketat dari persyaratan yang
dituntut terhadap seorang untuk dapat diterima kesaksiannya.
b) Dasar-dasar kehujjahan hadits ahad dapat ditemukan dalam banyak
ayat al-Qur’an. Di antara ayat yang dikutip al-Syafi’i adalah: إنا أرسلنا نوحا إلى قومه (QS. Nuh: 1) وإلى مدين أخاهم شعيبا (QS. Al-A’raaf: 85) ayat di atas menjelaskan bahwa
Allah mengutus Rsulnya sendiri kepada kaum dan umatnya, dan Allah menetapkan
risalah yang disampaikan para rasulnya itu menjadi hujjah yang wajib dita’ati
oleh kaumnya. Jika risalah (khabar) dari para rsul wajib diterima karena
dipercaya dan diyakini kebenarannya, maka hadits ahad yang diriwaytkan oleh
periwayat yang dipercaya serta memenuhi persyaratan lainnya yang berfungsi
menyaring kemungkinan terjadinya kesalahan dalm periwayatan, juga pantas
diterima dan dijadikan hujjah.
c) Rasulullah sering mengirim utusannya ke berbagai daerah dengan tugas
menyampaikan pesan-pesan agama, menyeru orang-orang agar masuk Islam.
Kebanyakan dari utusan Rasulullah itu pergi seorang diri, hal ini menunjukkan
bahwa pesan-pesan agam yang mereka merupakan
khabar ahad, dan dengan begitu khabar ahad dapat dijadikan hujjah.
d) Para sahabat dan ulama selanjutnya senantiasa berpegang dengan hadits ahad
dalam menyelsaikan masalah-masalah yang mereka hadapi dan meninggalkan hasil
ijtihad mereka jika ternyata tidak sejalan dengan hadits yang sampai kepada mereka
sekalipun melalui jalur ahad.
Seperti riwayat tentang Umar yang menyatakan bahwa isteri
tidak berhak atas diyat suaminya, hingga dia diberitahu oleh al-Dahhak ibn Abi
Sofyan bahwa Rasulullah pernah menyurati dan memerintahkannya agar isterim Azam
al-Dhibabiy diberi warisan dari diyat suaminya yang meninggal terbunuh. Setelah
itu, Umar meninggalkan ijtihadnya dan berpegang dengan hadits Rasulullah yang disampaikan al-Dhahhak, sekalipun dia seorang diri menyampaikannya.
III.
Penutup
1.
Kesimpulan
- Inkar al-sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau paham kelompok, bukan gerakan dan aliran, yang menolak eksistensi sunnah sebagai sumber hukum Islam atau hujjah yang wajib ditaati dan diamalkan umat Islam.
- Inkar al-sunnah muncul dilatarbelakangi oleh keraguan orang atau kelompok tertentu tentang metodologi kodifikasi sunnah yang menyangkut kemungkinan bahwa para perawi melakukan kesalahan atau kelalaian atau muncul dari kalangan para pemalsu dan pembohong. Latar belakang lain ialah ketidak fahaman mereka terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan ilmu hadits. Faktor ini tidak hanya terlihat pada mereka yang berfaham inkar sunnah pada masa al-Syafi’i saja, melainkan juga pada masa berikutnya, termasuk di dalamnya kelompok pengingkar sunnah di Indonesia dan Malaysia.
- Kemunculan kelompok pengingkar sunnah ditanggapi keras oleh para ulama waktu itu, khususnya ulama hadits. Di antara mereka adalah imam al-Syafi’i, sehingga dia disebut dengan “nasr al-Sunnah” atau “sang penyelamat sunnah.”
[1] Abdul Aziz Dahlan, Dkk., Ensiklopedi\\a
Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 19
96, Cet. Ke 1.
Jild.III., hal. 718
[2]
Al- Ragif al- Isfhani, Mu`jam Mufradat al- Fath al- Qur`an al- Karim Tahqiq
Nadim al- Marasyli, Beirut: Dar
al-Fkr, Tth, hal. 526
[3]
Lihat: Muhammad `A`jaj al- Khatib, Ushul
al- Hadits, Beirut: Dar al- Fikr, 1989,
hal.19 dan 26, lihat juga Musthafa al- Siba`I, al- Sunnah wa Makanatuhu fi al- Tasyr` al- Islami, (Beirut: Maktabah al- Islamiyah, 1978), hal. 47
[4] M.
Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits,
Cet. I. (Jakarta: Gaung Persada Press,, 2
008), hal. 200.
[5] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam , Ensiklopedi Islam , Jild.II, (Jakarta:
PT.Ikhtiar baru Van Houve, 1994), Cet. Ke 2, hal.225. lihat juga Harun
Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992),
hal.428.
[6]
Edi Safri, al- Imam al- Syafi`i , Metode Penyelesaian Hadits- Hadits
Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hal. 34
[7] Lukmanul hakim, Inkar Sunnah Priode
Klasik, (Jakarta: Hayfa Press, 2004), Cet. Ke 1, hal. 57
[8] Musthafa al- Shiba`i, Inkar Sunnah dan
Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Terj. Nurcholish Madjid, Judul Asli,
al- Sunnah wa Makanatuha fi al- Tsyri al- Islami, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991), Cet. Ke 1, hal.116
[9]
Zainimal, Ulum al-Hadits, (Padang: The Minangkabau Foundation, 2005), hal.
224.
[11]
Ahmad bin Hanbal, Musnad ahmad, Kitab
Musnad al syaamiyyin, no.hadits 16546
[12] M, Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. Ke 1, hal.14
[13] Muhammad bin Idris al- Syafi`i, Op.Cit, hal 287
[14] Muhammad abu Zahw, al- Hadits wa al-
Muhaddisun aw Inayat al- Ummat al- Islamiyat abi al- Sunnah al- Nabawiyat, (t.t.
Al- Maktabat al- Taufiqiyat,T.th), hal. 282
[15]
Lihat Luqmanul Hakim, Inkar Sunnah Periode Klasik, Op.Cit, hal. 60-61.
[16]
Lihat Edi Safri , Op.Cit.,
hal. 41
[17]
Lihat Mustafa al-Siba’i, Op.Cit, hal.
130
[18]
Zainimal, Op.Cit, hal. 229
[19] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hal 226
[20] Ibid.
hal 226
[21]
Luqmanul Hakim, Op. Cit, hal. 65-66
[22]
Khawarij mempunyai beberapa sekte, ada
yang ekstrim; Al-Muhakkimah, Al-Azariqah,
Al-Najdat, ada juga yang moderat; al-Ibadhiyah.
[25] Luqmanul
Hakim, Op.Cit, hal. 70
[26]
H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan
Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal. 88-89
[27] Ibid, hal. 89-90
[28]Ibid, hal. 91
[29] Ibid, hal. 92-93
[30] Lihat Luqmanul Hakim, Op.Cit, hal.
92-99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar