I.
PENDAHULUAN
Mengetahui apa sesungguhnya ilmu, tidaklah melalui ilmu itu sendiri, tetapi
melalui filsafat ilmu. Melalui filsafat ilmulah segala penjelasan mengenai ilmu
diperoleh. Karena itu, filsafat ilmu demikian penting untuk didalami oleh
setiap ilmuan agar ia mengenal hakikat sesuatu yang dimilikinya, yaitu ilmu.
Dalam mendalami
filsafat ilmu ini, kita akan dihadapkan kepada tiga cabang pentin dalam ilmu,
yaitu Ontologi, Epistemologi, dan aksiologi. Dalam makalah sederhana ini penulis mencoba memaparkan tentang salah satu cabang dalam filsafat tersebut, yakni ontologi; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu?
Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan
antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan
mengindera) yang membuahkan pengetahuan?. Dan yang paling utama ontology
sesungguhnya membahas tentang bagaimana sesungguhnya eksistensi Tuhan.
Untuk bisa mengerti lebih baik tentang makna ontologi agar tidak terjebak
hanya pada satu pola filsafat saja maka dalam makalah ini penulis mencoba
menyadur bebarapa ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan pembahasan ini. Mudah-mudahan makalah yang ringkas ini dapat menambah wawasan
kita tentang filsafat, khususnya pemahaman tentang ontologi.
II.
PEMBAHASAN
A.
Terminologi Ontologi
Ontologi
berasal dari bahasa Yunani yang asal katanya
“Ontos” yaitu sesuatu yang berwujud, dan logos berarti ilmu, jadi ontologi
adalah ilmu atau teori tentang wujud atau tentang hakikatnya yang ada.[1]
Boleh jadi yang menggunakan istilah ontologi ini adalah Plato dengan teori
idealnya, yaitu suatu teori untuk membuktikan adanya tuhan. Akan tetapi sesuai
dengan perkembangan bahwa ontologi merupakan istilah dari salah satu cabang
metafisika. Maka besar kemungkinan yang pertama menemukan istilah itu dan menggunakan dalam arti
tersebut adalah Rudolf Coglenius pada tahun 1636 M. oleh karena itu, ontologi
berarti ilmu hakikat, maka dengan ilmu ini orang menyelidiki alam wujud
bagaimana keadaan yang sebenarnya.[2]
Dalam perkembangannya,
Christian Wolf (1679-1754) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika
umum dan khusus. Metafisika umum adalah istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafisika
umum atau otologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang
paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan
metafisika khusus masih terbagi menjadi Kosmologi, Psikologi dan Teologi.[3]
Secara terminologi,
banyak para filsafat yang mencoba memberi
pandangan tentang Ontologi ini.
Diantaranya adalah Bagus Lorens
dalam kamus filsafatnya menuliskan lima pengertian ontologi, yaitu sebagaimana
berikut:
1.
Studi
tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri yang berbeda
dengan studi hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari yang ada dalam
bentuknya yang abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti: “apa itu
ada dalam dirinya sendiri?” dan “apa hakikat ada sebagai ada?”
2.
Cabang
filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin,
yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/menjadi,
aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, prubahan, waktu, eksistensi/non
eksistensi, esensi, keniscayaan, dan yang ada sebagai yang ada.
3.
Cabang
filsafat yang mencoba:
- Melukiskan hakikat yang ada yang terakhir (yang satu, yang absolut,
bentuk abadi sempurna).
- Menunjukkan bahwa segala hal tergantung kepadaNya bagi
eksistensiNya.
- Menghubungkan fikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah
dengan realitas tertentu.
4.
Cabang
filsafat yang:
- Yang melontarkan pertanyaan “apa arti ada, berada?”, pertanyaan
yang sama dilontarkan tentang kategori-kategori atau konsep-konsep lain yang
digunakan dalam menggunakan realitas.
- Menganalisis bermacam-macam
makna yang memungkinkan suatu hal dikatakan ada, berada.
5.
Cabang
filsafat yang menyelidiki status realitas suatu hal, mislnya “apakah objek dan
persepsi kita nyata atau bersifat ilusif?”, apakah bilangan itu nyata?”,
menyelidiki jenis realitas, dan realitas cirri dari objek tersebut.[4]
Amsal Bakhtiar dalam bukunya yang berjudul
“filsafat Ilmu” mengatakan bahwa ontologi adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk
jasmani/ konkrit maupun yang rohani/ abstrak.[5] Ontologi
adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam
dari segal sesuatu yang ada. Dalam artian mengkaji tentang hakikat sesuatu yang
ada secara detil, mulai dari awal keberadaannya, perkembangannya, sampai
cakupan dan hal-hal yang penting yang ada di dalamnya.
Sedangkan Jujun
S. Suriasumatri dalam “Pengantar ilmu dalam Perspektif” mengatakan,
ontologi membahas apa yang kita ingin ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.[6]
Dengan demikian dapat difahami
bahwa ontologi adalah cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang hakikat
sesuatu yang ada (jasmaniah dan rohaniah). Mengkaji hakikat berarti mengkaji
hal yang sangat luas, karena hakikat itu mencakup realita atu kenyataan yang
sebenarnya. Maka dalam kajian hakikat ini tercakup segala yang ada dan yang
mungkin ada. Sesuai dengan pernyataan Amsal Bakhtiar bahwa hakikat adalah
realitas; realita adalah kenyataan yang sebenarnya.
Jadi, ontologi (dalam
filsafat ilmu) adalah cara pandang mengenai objek materi suatu ilmu,
pembicaraan mengenai hakikat objek materi ilmu. Atau dengan kata lain
penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar
(akar yang paling mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan
itu).
Sebagai bahan perbandingan mengenai konsep ontologi ilmu dalam Al-Qur’an, mari kita lihat surat Ali Imran ayat 190-191 sebagai berikut:
إَنَّ فِي خَلْقِ السَّموتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ
اللَّيـْــلِ وَالنَّهَارِ لَأيتٍ لِأُولِى اْلأَلْبـَـــــابِ . الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ
اللهَ قِيـــــمًا وَقُعُوْدًا وَعَلى جُنُوْبِــِـهِمْ وَيَتـــَفَكَّرُوْنَ فِي
خَلْقِ السَّموتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنــــَا مَا خَلَقْتَ هذَا بطِلاً سُبْحنَكَ فَقِنـَــا
عَذَابَ النَّارِ.
Terjemahnya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka
peliharalah kami dari siksa neraka.” (Al-Imran: 190-191)
Dari ayat tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa Konsep Ontologi
Ilmu yang Islami memandang realitas dari sudut pandang ke-Khalik-makhluk-an.
Artinya, melihat realitas dari pemahaman adanya Allah sebagai Khalik
(pencipta) dan segala sesuatu selainNya sebagai makhluk, segala atribut yang
bisa secara benar dilekatkan pada makhluk adalah perwujudan niscaya karena
kemakhlukannya.
Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan
tentang makna sesungguhnya ontologi ketika kita coba menarik makna dari sudut
pandang Islami sebagai mata rantai yang nyaris terlupakan dengan memberikan
pengertian dasar Logos yang berarti Tuhan, jadi Ontologi disini mengandung
pengertian tentang hakikat keberadaan Tuhan.
B. Objek Formal Ontologi
Objek formal ontologi adalah hakikat
seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas
atau jumlah, tealaah terhadap kuantitas tersebut akan menjadi kualitatif,
realitas akan tampil menjadi aliran-aliran monoisme, dualisme, dan pluralisme, materialisme,
idealisme, nihilisme, dan agnotisisme.
Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau
merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari
ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Ilmu dapat
disebut sebagai pengetahuan empiris karena objeknya adalah sesuatu yang berada
dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup segala aspek kehidupan yang
dapat diuji oleh panca indera manusia.
Ontolog merupakan cabang filsafat yang berupaya mendeskripsikan hakekat
wujud. Ontologi digunakan sebagai sinonim untuk metafisika dan Aristoteles
menyebutnya sebagai filsafat pertama hal senada diungkapkan oleh Sudarsono
bahwa ontologi adalah cabang ilmu pengetahuan (metafisika) menyangkut
penelitian terhadap masalah-masalah sifat kehidupan terutama manusia.
Ontologi
merupakan kawasan yang tidak termasuk ilmu yang bersifat otonom, ontologi
merupakan sarana ilmiah menemukan jalan untuk menangani suatu masalah secara
ilmiah. Oleh karena itu ontologis dari ilmu pengetahuan adalah analisis tentang
objek materi dari ilmu pengetahuan, objek materi ilmu pengetahuan adalah
hal-hal atau benda-benda empiris.
C.
Pandangan Pokok-pokok Pemikiran Ontologi
1.
Keberadaan ontologi dipandang dari
segi jumlah
a)
Monoisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa hanya ada satu kenyataan
fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, tuhan atau subtansi
lainnya yang tidak dapat diketahui. Tokohya antara lain: Thales (625-545 SM), yang berpendapat bahwa kenyataan yang
terdalam adalah satu subtansi, yaitu air. Anaximander (610-547 SM) berkeyakina bahwa yang merupak kenyataan terdalam adalah
aperion, yaitu segala sesuatu yang tanpa batas,
tidak dapat ditentukan dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda
yang ada dalam dunia. Anaximenes (585-528 SM), berkeyakinan bahwa yang merupakan unsur
kenyataan yang sedalam dalamnya adalah udara. Filosof modern yang termasuk penganut
monoisme adalah B. Spinoza, berpendapat bahwa hanya ada satu satu substansi,
yaitu tuhan. Dalam hal ini tuhan diidentikkan dengan alam (naturans
naturata). Dengan demikian monoisme adalah bagian pemahaman ontologi yang
mendeskripsikan bahwa hanya ada satu hakikat sebagai sumber asal ini, tidak ada
yang selian selain satu tersebut.[7]
b)
Aliran
Dualisme, yaitu aliran yang berfaham bahwa alam maujud
ini terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya, yaitu hakikat materi dan
hakikat rohani. Materi bukan lahir dari rohani,
dan rohani pun tidak lahir dari materi. Kedua hakikat itu masing-masingnya
bebas dan berdiri sendiri sama azali dan abadi. Hubungan antara keduanya itulah
yang menciptakan kehidupan alam ini.[8]
Descrates menamakan kedua hakikat itu dengan istilah “dunia kesadaran” (rohani)
dan “dunia ruang” (kebendaan) atau cagitato dan extencio. Kedua
hakikat saling berbeda dan benar-benar terpisah satu sama lain dan yang satu
tidak tergantung dengan yang lainnya.
c) Pluralisme, paham ini beranggapan
bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme tertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu
semuanya nyata.[9] Tokoh aliran ini pada masa
Yunani kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri
dari empat unsur, yaitu tanah, air, api dan udara.
Heracleitos juga beranggapan bahwa kehidupan alam ini sebagai
perubahan abadi, dimana tidak satupun yang dapat bertahan dalam satu bentuk dan keadaan
saja. Tetapi perubahan-perubahan ini semua menurut dia akibat “cinta
dan benci”. Faktor inilah yang dianggapnya menjadi sebab berkumpul dan
berpisahnya keempat faktor itu. Apabila dijalin oleh cinta unsur-unsur itu
berkumpul dan tersusun rapi, terjadilah
satu benda, tetapi apabila datang benci
unsur-unsur itupun berpisah satu demi satu. Tubuh yang kuat menjadi rontok dan akhirnya
kembalilah menjadi tanah, air, api, dan udara.
Lain
pula halnya Anaxagoras yang mengatakan
bahwa bahan dasar itu bukan empat tetapi tidak terhingga jumlahnya. Kesemuanya
adalah bibit yang diatur oleh akal (nous)
dan ditempatkan masing-masingnya pada tempat yang layak pada suatu susunan yang rapi, seperti
kerapian yang terlihat pada benda-benda langit, matahari, bulan, dan
bintang-bintang.[10]
Itulah
beberapa tokoh pluralis dengan teorinya
masing-masing. Tiap-tiap barang mengandung zat dari segala barang.
Barang yang berbeda rupanya itu bergantung kepada kedudukan campuran anasir (unsure-unsur)
yang asal. Unsur yang terbanyak dalam campuran itu menentukan rupa barang.
Mereka sepakat bahwa di alam ini selalu terjadi perubahan abadi yaitu percampuran atau
perpisahan anasir asal. Jadi kaum pluralis tersebut walaupun tentang banyaknya
anasir yang merupakan asal dari setiap benda ini, namun mereka berbeda dalam
menentukan kodrat penggerak dari luar.
Kalau Empedocles mengatakan gerakan bercampur dan berpisah disebabkan
oleh dua kekuatan dasar yang disebut dengan “cinta” dan “benci”. Sedangkan
menurut Anaxagoras hanya satu, yaitu kodrat dari alam ini
hanya satu yaitu akal (nous). Akal itu awal dan akhir dari segalanya. Ia berada
dalam segalanya, tapi bukan bagian daripadanya, ia tidak terhingga berkuasa
atas diri dan berada dengan sendirinya pula.
2. Keberadaan ontologi dipandang dari segi
sifatnya
a) Materialisme
Aliran materialisme yang berfaham bahwa
hakikat itu ialah materi, sedangkan yang lain dari materi seperti roh (jiwa), tidaklah suatu kenyataan yang
berdiri sendiri, tetapi merupakan hakikat daripada proses gerakan kebendaan
dengan salah satu cara tertentu.[11] Hal-hal yang bersifta kerohanian seperti jiwa, keyakinan,
rasa sedih, dan rasa senang tidak lain hanyalah ungkapan proses kebendaan. Aliran ini sering disebut
naturalisme.[12]
Pendapat tersebut dikuatkan dengan dasar antropologi bahwa
kebenaran itu berupa materi (zat). Berdasarkan pada pengalaman dan penelitian
keadaan jiwa amat bergantung kepada zat (badan). Kesadaran berhubungan dengan
saraf, kerusakan pada zat akan menimbulkan kerusakan pada jiwa. Peristiwa jiwa
dan perasaan amat ditentukan oleh keadaan jasmani menentukan pula keadaan rohani. Itulah beberapa alasan yang
dijadikan dasar bagi paham materialisme.
Tokoh aliran ini adalah demokritos
(460-370 SM), berkeyakinan bahwa alam semesta tersusun atas atom-atom kecil
yang memiliki bentuk dan badan. Atom ini mempunyai sifat yang sama,
perbedaannya hanya tentang besar, bentuk, dan letaknya. Jiwa pun menurut
demokritos dikatakan terjadi dari atom-atom, hanya saja atom-atom jiwa itu
berbentuk kecil, bulat, dan bergerak.Thomas Hobbes (1588-1679), berpendapat
bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia merupakan gerak dari materi.
Termasuk juga pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka karena segala
sesuatu yang terjadi dari bernda-benda kecil.[13]
Materialisme modern mengatakan bahwa alam (universe) itu merupakan
kesatuan materil yang tak terbatas: alam termasuk material yang tak terbatas;
alam, termasuk di dalamnya segaa materi dan energi (gerak atau tenaga) selalu
ada dan akan tetap ada, dan bahwa alam; adalah realitas yang keras, dapat
disentuh, materil, objektif, yang dapat diketahui oleh manusia. Materialisme
modern mengatakan bahwa materi itu ada sebelum jiwa, dan dunia materil adalah
yang pertama, sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua.[14]
b) Spiritualisme atau Idealisme
Aliran spiritualisme juga disebut
idealisme (serba cita). ). Idealisme berasal dari kata ”Ideal” yaitu suatu yang hadir
dalam jiwa. Idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran,
akal (mind) atau jiwa (self) dan
bukan benda material dan kekuatan.[15]
Muslim Munaf menyatakan bahwa aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka ragam ini semuanya berasal
dari roh (sukma), yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak menempati
ruang. Sedangkan materi atau zat itu hanya satu jenis dari penjelmaan
rohani.[16]
Spiritualisme
mengandung beberapa arti, yaitu:
- Ajaran yang menyatakan bahwa
kenyataan yang terdalam adalah roh ( pneuma, nous, reason, logos), yakni
roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. Spiritualisme dalam arti ini
dilawankan dengan materialisme.
- Kadang-kadang dikenakan pada
pandangan idealistis yang menyatakan adanya roh mutlak. Dunia indra dalam
pengertian ini dipandang sebagai dunia ide.
- Dipakai dalam istilah keagamaan untuk menekankan pengaruh
langsung dari roh suci dalam bidang agama.
- Kepercayaan bahwa roh orang mati berkomunikasi dengan yang
Masih hidup melalui perantara atau orang tertentu dan lewat bentuk wujud yang
lain. Istilah spiritualisme lebih tepat
dikenakan kepercayaan semacam ini.
Tokoh aliran ini antaranya Plato
dengan ajrannya tentang Idea (cita) dan jiwa. Idea atau cita adalah gambaran
asli segala benda. Semua yang ada dalam dunia hanyalah penjelmaan atau bayangan
saja. Idea atau cita tidak dapat ditangkap dengan indra (diserap), tetapi
dapat dipikirkan, sedangkan yang ditangkap oleh indra manusia hanyalah
bayang-bayang.
3. Aliran
Lain yang berkaitan antara ontologi dan Metafisika
a)
Nihilisme, berasal
dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin
yang tidak mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya
adalah Fredrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari
keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani
dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi.
Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya
moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani.
Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan
demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai
baru, dengan transvaluasi semua nilai.[17]
Doktrin tentang Nihilisme
sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, yaitu pada pandangan Grogias
(483-360 SM) yang memberikan tiga proporsi tentang realitas, yaitu:
- tidak ada sesuatupun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada
- bila sesuatu itu ada, ia
tidak dapat diketahui, ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak dapat
dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi
- sekalipun realitas itu
dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.[18]
b) Agnotisisme, yaitu faham yang mengingkari pengetahuan dalam tentang
agama. Kata agnosticismeberasal dari bahasa Grik
Agnotos yang berarti unknow artinya not, Gno artinya know.
Seorang agnosis bersikap percaya tidak kepada tuhan, tidak percaya pun
tidak. Ia tidak mengacuhkan tuhan dan tidak menghiraukan agama. Kedudukan faham
ini adalah antara teisme dan ateisme.[19]
Timbulnya aliran ini
dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara kongkret
akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal. Faham ini
dipakai oleh kaum gnostik, yaitu ahli-ahli agama yang beranggapan dapat
memberikan keterangan yang mendalam tentang hakikat sesuatu. Hal ini terutama
berlaku di sekitar abad ke 2-5, sehingga mereka beranggapan dapat memberikan
keterangan tentang alam metafisika melalui pemikiran kosmogebik dan mitos
timur. Tokoh aliran ini seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) Bapak
Filsafat Eksistensialisme, Heidegger, Sartre, dan Jaspers.
D.
Metode Dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga
tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk,
dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas
sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang
menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan
prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau
oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.[20]
Sedangkan metode pembuktian dalam
ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori
dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan
meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan
term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh :
Sesuatu yang bersifat
lahirah itu fana
Badan itu sesuatu yang lahiri
Jadi, badan itu fana’
Sedangkan pembuktian a posteriori
secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah
menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara
pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi
rahang dinasaur
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan
Bandingkan tata silogistik
pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term
tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengah menjadi sebab dari
kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term
tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
E.
Dalil-dalil
Ontologi Tentang adanya tuhan
Sebagaimana
telah dikemukakan di awal tadi bahwa ontologi
ialah ilmu yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang ada, dengan istilah
“ilmu hakekat”. Pada abad pertengahan, baik kalangan filosof Islam maupun non
muslim, pembuktian adanya tuhan dengan mempergunakan akal sudah merupakan satu
tema pembahasan penting. Menurut Emmanuel Kant ada tiga macam argument tentang
adanya tuhan, yaitu: Ontological, Cosmological, dan Telelogicals.[21]
a)
Argument
Ontologi
Argumen ini tidak banyak di dasarkan pada alam nyata sebagaimana
argumen cosmologis dan teleologis, tetapi dia berdasarkan kepada akal
semata-mata. Argument ontologisme ini dimajukan pertama kali oleh Plato dengan
teori idenya. Tipa-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada idenya.
Yang diamaksud dengan ide adalah konsep universal dari segala
sesuatu dan inilah yang merupakan hakikat sesuatu itu dan menjadi dasar bagi wujud sesuatu itu. Ide yang banyak
itu merupakan hakikat dari segala yang ada ini bersatu dalam ide tertinggi yang
disebut “ide kebaikan” (The absolute Good), yaitu yang mutlak baik yang
merupakan sumber, tujuan dan sebab dari segala yang ada (tuhan).
Arumen ontologis kedua dikemukakan oleh St. Augustine. Menurut
Augustine berdasarkan pengalaman, manusia mengetahui bahwa dalam alam ini ada
kebenaran. Tetapi pada diri manusia kadang-kadang timbul keraguan, apakah yang
diketahuinya itu sungguh-sungguh benar. Sehingga akhirnya akal manusia
mengetahui bahwa masih ada kebenaran mutlak di atas keraguan tersebut,
kebenaran yang tidak berubah yang menjadi suumber dan cahaya bagi akal dalam
mengetahui yang benar. Kebenaran yang mutlak itulah yang disebut dengan tuhan.
Argument Ontologi ketiga dikemukakan oleh St. Anselm Of Caterburry.
Menurut filosof skolastik masehi ini manusia dapat memikirkan sesuatu yang
kebenaran tidak dapat diatasi oleh
segala yang ada, konsep sesuatu yang Maha Besar, Maha Sempurna, sesuatu yang
tidak terbatas. Zat yang serupa ini
mempunyai wujud dalam hakikat, bukan hanya wujud dalam fikiran. Ini berarti ia
lebih besar dan lebih sempurna. Sesuatu yang Maha Besar dan Maha
Sempurna tidak boleh tidak mempunyai wujud. Maka tuhan mesti mempunyai wujud,
tuhan mesti ada.
Bukti ontologisme yang
dikemukakan oleh St. Anselm itu kemudian disederhanakan oleh Descrates pada
permulaan abad modern. Pokok-pokok dari usahanya itu adalah:
- Kita mempunyai ide tentang tuhan
- Tuhan itu adalah suatu zat yang tidak dapat digambarkan oleh zat
lain karena ukuran yang lebih besar darinya.
- Suatu zat yang ada dan mempunyai wujud tersendiri tidak hanya ada
dalam fikiran manusia adalah lebih besar dari zat yang hanya ada dalam fikiran manusia.
- Oleh karena itu tentu tuhan ada, dengan wujud hakiki yang tersediri
yang tidak hanya ada dalam fikiran.
b)
Argumen
Cosmologis
Argument cosmologis disebut juga dengan argumen sebab musabab,
karena selalu berhubungan dengan ide tentang sebab (causality) yang
timbul dari faham alam yang bersifat mungkin (contingent) dan bukan
bersifat wajib (necessary) dalam wujudnya. Justeru karena itu mesti ada
yang menyebebkannya. Penyebab itu mempunyai sebab sehingga terus menerus akan
sampai kepada penyebab yang tidak menyebebkan (penyebab pertama). Penyebab
pertama inilah yang disebut dengan tuhan.
Argumen ini walaupun
dikemukakan oleh Thomas Aquinas, namun
sebenarnya berasal dari Aristoteles. Berdasarkan perjalanan sejarahnya argument
ini sudah tua sekali, sama halnya dengan ontologisme.
Kalau argument ontologisme berasal dari
Plato, maka argument cosmologis berasal dari Aristoteles.
Argument ini cukup kuat sehingga kritik Kant tidak dapat
melemahkannya. Akan tetapi pada abad dewasa ini masih dihadapkan
kesulitan-kesulitan baru seperti:
- Bagaimana meyakinkan bahwa sebab pertama sebagai hasil dari bukti
ini merupakan zat yang rahman dan rahim
yang disembah dan diagungkan.
- Orang tidak akan yakin dengan perkataan sebab. Banyak para ahli
filsafat dewasa ini menolak sama sekali
perkataan sebab.
Menurut Al Kindi, alam ini diciptakan
dan penciptanya adalah Allah. Segala yang terjadi dalam alam ini mempunyai
hubungan sebab dan musabab. Sebab mempunyai efek kepada musabab. Rentetan sebab
musabab ini berakhir kepada sebab pertama yaitu Allah pencipta alam.
Menurut al farabi, alam bersifat mungkin wujudnya oleh karena itu
ia berhajat kepada suatu zat yang bersifat wajib wujudnya untuk merubah
kemungkinan wujudnya kepada wujud hakiki yaitu sebagai sebab bagi terciptanya wujud mungkin.
Selanjutnya menurut Ibnu sina, ada tiga macam
wujud, yaitu: wujud mumtani, mumkin, dan wajib.
Tiap-tiap yang ada mempunyai wujud dan mahiyah. Di antara wujud dan
mahiyah wujudlah yang lebih penting, karena wujudlah yang membuat mahiyah
menjadi hakikat dalam kenyataan (mahiyah terdapat dalam akal).
Mumtani adalah mahiyah yang tidak bisa mempunyai
wujud dalam kenyataan seperti adanya
cosmos yang lain dari cosmos kita ini.
Mumkin adalah mahiyah yang bisa mempunyai wujud dan bisa pula tidak
mempunyai wujud seperti kuda, singa, dan lain-lain.
Wajib adalah mahiyah yang tidak dapat dipisahkan dari wujudnya. Di
sini mahiyah dan wujud itu adalah satu, olh sebab itu disebut wajibul wujud
dan inilah tuhan. Mahiyah adalah wujud dan wujudnya adalah mahiyah. Wujud
cosmos yang bersiifat mumkin tergantung kepada wajibul wujud yang
menjadi dasar dari semua wujud ini.
c)
Argument
teleologis
Teleo berarti tujuan, telelologis adalah serba tujuan. Alam yang teleologis
yaitu alam yang diatur menurut sesuatu tujuan tertentu. Dengan kata lain alam ini
secara keseluruhannya bereolusi dan beredar pada tujuan tertentu.
Bahagian-bahagian alam mempunyai hubungan yang erat satu sama lain
dan bekerja sama dalam mewujudkan tercapainya tujuan tertentu. Jadi dunia ini bagai seorang teolog, tersusun dari bahagian-bahagian yang erat
hubungannya satu sama lain dan bekerjasama dalam menuju tercapainya suatu
tujuan tertentu. Evolusi dan peredaran alam secara tersebut sudah barang tentu
terjadi secara kebetulan, bahkan mesti ada satu zat yang menentukan tujuan itu.
Tujuan itu adalah “kebaikan yang tertinggi” yang bersifat universal, yaitu
kebaikan alam seluruhnya. Zat yang menentukan dan mengatur tujuan yang merupakan kebaikan alam
seluruhnya itu yaitu Tuhan.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1)
ontologi
adalah cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang hakikat sesuatu yang ada
(jasmaniah dan rohaniah). Mengkaji hakikat berarti mengkaji hal yang sangat
luas, karena hakikat itu mencakup realita atu kenyataan yang sebenarnya. Maka
dalam kajian hakikat ini tercakup segala yang ada dan yang mungkin ada.
2)
Keberadaan
ontologi di pandang dari beberapa hal:
a)
Keberadaan ontologi dipandang dari segi jumlah
ada dalam bentuk
-
Monoisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa
hanya ada satu kenyataan fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa,
materi, tuhan atau subtansi lainnya yang tidak dapat diketahui.
-
Aliran
Dualisme, yaitu aliran yang berfaham bahwa alam maujud ini terdiri dari dua
macam hakikat sebagai sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani.
-
Pluralisme, paham ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
b) Keberadaan ontologi
dipandang dari segi sifatnya:
1)
Materialisme,
yaitu aliran yang berfaham bahwa hakikat itu ialah materi, sedangkan yang lain
dari materi seperti roh (jiwa), tidaklah
suatu kenyataan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan hakikat daripada proses
gerakan kebendaan dengan salah satu cara tertentu.
2)
Aliran spiritualisme/ idealisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa
hakikat kenyataan yang beraneka ragam ini semuanya berasal dari roh (sukma), yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan tidak menempati ruang.
c) Aliran Lain
yang berkaitan antara ontologi dan Metafisika
1)
Nihilisme, Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas
alternatif positif.
2)
Agnotisisme, Paham ini mengingkari
kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun
hakikat ruhani.
3)
ada
tiga macam argument tentang pembuktian
adanya tuhan dengan mempergunakan akal, yaitu: Ontological, Cosmological, dan Telelogicals.
[1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2004), hal. 134
[2] Muslim Munaf, Kuliah
Filsafat Umum: Sistematis dan Historis, (Padang:
Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, 2007), hal. 28
[3] Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang
alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan
tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus
membicarakan Tuhan. Lihat Amsal Bakhtiar, Op.Cit, hal. 134-135, Lihat
juga Muslim Munaf, Ibid. Hal. 134, dan
http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/22/ontologi/, Dikutip pada tanggal 28 September 2012, pukul: 19.45 WIB.
[4] Bagus Lorens, Kamus
Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), hal. 746
[5] Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004),
hal. 134
[6] Jujun
S. Suriasumantri, Tentang Hakikat Ilmu,Dalam Ilmu Dalam Perspektif, Cet. I (Jakarta: Gramedia,
2001), hal. 57
[7] Muslim Munaf, Op.Cit. hal. 29,
lihat juga Sidi Gazalba, Sistematika filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996),
hal. 68, dan i
http://harissangpengusaha.blogspot.com/2011/04/ontologi-filsafat.html
[8] Amsal Bakhtiar, Op.Cit, hal 141-142
[9] Ibid, hal. 143-144
[10] Muslim Munaf, Op.Cit, hal.
34, lihat pula di http://harissangpengusaha.blogspot.com/2011/04/ ontologi-filsafat.html
[11] Atang Abdul Hakim, dan Beni Ahmad saebani, Filsafat Umum: Dari
Metodologi sampai Teofilosofi, (Bandung: CV Pustaka setia, 2008), hal. 361
[12] Natura adalah teori yang menerima natura sebagai keseluruhan realitas.
Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains dan alam. Lihat
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, cet.II, (Jakarta: Kencana, 2005), hal 143-144.
[13] Dikutip dari http://harissangpengusaha.blogspot.com/2011/04/ontologi-filsafat.html, pada tgl
28 September 2012, pukul 18.45 WIB.
[14] Atang Abdul Hakim, dan Beni Ahhmad Saebani, Op.Cit, hal. 363.
[15] Juhaya S. Praja, Op.Cit, hal. 126
[16] Muslim Munaf, OP.Cit, hal. 30
[17] Dikutip dari: http://psikologip.blogspot.com/2011/12/landasan-ontologi-epistemologi-dan.html,
pada tgl 28 September 2012, pukul 18.45
WIB.
[18] Amsal Bakhtiar, Op.Cit, hal. 145,
lihat juga di http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/22/ ontologi/
[19] Sidi Gazalba, Op.Cit, hal. 63
[20] Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika, pada tgl 28 September 2012, pukul 18.45 WIB.
[21] Muslim Munaf, Op.Cit, hal.
42-47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar