Kamis, 09 Mei 2013

FILSAFAT AL-GHAZALI DAN IBN RUSYD

I.     PENDAHULUAN
Perkembangan peradaban itu terus melaju pesat meninggalkan peradaban bangsa Timur yang memang sejalan dengan misi mereka yaitu membuat atau menjadikan dunia Islam tidak mempunyai peran penting dalam mencoraki arus sejarah global. Menurut Saiful Anwar, tejadinya kesenjangan corak dan laju perkembangan antara Barat dan Timur Islam itu timbul dari sebab-sebab yang komplek. Salah satunya seringnya dikaitkan dengan kisah pertarungan antara “agama” dan filsafat yang dimenangkan kubu pertama.[1]
Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H) merupakan salah seorang filosof yang melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifat (The Inkoherence of the fhilosopher; Kerancuan Pemikir Para Filosof). Disatu pihak, al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam (Argumen Islam), dan dinyatakan oleh Ibn ‘Asakir sebagai Mujahid (Pembaharu) Islam abad ke-5 H. tidak heran jika ia menduduki posisi penting di dunia Islam sepanjang sejarah hidupnya.[2] Sejak abad ke-13 M dunia Islam lebih didominasi kalam dan sufisme sehingga emperisme terhambat pekembangannya.
Karya al-Ghazali yang sangat monumental adalah Tahafut al-Falasifah yang berisikan serangan terhadap kerancuan berfikir para filosof yang secara lahiriah ditandingi dan dibantah oleh Ibn Rusyd melalui bukunya Tahafut al-Tahafut. Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd merasa perlu membela para filosof dan pemikiran mereka serta mendudukkan masalah-masalah tersebut pada proporsinya. Melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, seolah-olah Ibn Rusyd telah mengisyaratkan bahwa al-Ghazali-lah yang sebenarnya kacau dalam berpikirnya.[3]
Dalam makalah ini penulis akan memaprkan bagaimana pertarungan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd dalam meruntuhkan dan membela filosof Al-Farabi, Ibn Sina, Aristoteles dan lainnya. Artinya makalah ini memfokuskan bahasan terhadap perdebatan seputar filosof ini saja, bukan karena tidak ingin membahas lebih jauh bagaimana teori dan corak kedua filsafat di atas (Al-Ghazali dan Ibn Rusyd) yang sebenarnya sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam, akan tetapi karena akan disajikan dalam bentuk makalah tentu akan terbatas oleh waktu dan jumlah halaman. Namun demikian pemakalah berharap semoga makalah sederhana ini bisa menjadi pengantar bagi pembaca untuk memahami paling tidak seputar yang diperdebatkan oleh Al-Ghazali dan Ibn Rusyd.

II.  PEMBAHASAN
A.    Imam Al-Ghazali
1.      Riwayat Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali lahir di Thus, Khurazan (Iran sekarang) pada tahun 450 H/1072 M. Dia adalah seorang Peria asli. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali al-Thusi yang bermazhab Syafi’i dan Asy’ari. Ia meninggal pada umur lima puluh lima tahun, tepatnya pada tahun 1127 M di Thabaran, sebuah desa dekat Thus. Thus adalah salah satu kota yang terkenal di Khurazan pada zaman dahulu. Saat ini ia bukan lagi sebuah desa, tapi termasyhur karena hubungannya dengan penyair terkenal Firdaus yang meninggal di sana pada tahun 1020 M.[4]
Ayahnya seorang pengrajin yang bekerja memintal wol (makanya dia digelar dengan Al-Ghazal), dan hasilnya dijual sendiri di tokonya di Thus. Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari kehidupan sufi. Ketika merasa ajalnya sudah dekat, ayahnya berwasiat kepada seorang ufi teman karibnya untuk memelihara al-Ghazali dan adiknya Ahmad dengan bekal sedikit warisan yang ditinggalkannya. Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidupnya faqir itu tak mampu lagi memberinya tambahan. Maka Al-Ghazali dan adiknya dierahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh makan dan pendidikan. Di inilah awal perkembangan intelektual dan spiritual Al-Ghazali  yang penuh  arti sampai akhir hayatnya.[5]
Pada masa kecilnya al-Ghazali belajar kepada Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan saat itu. Sepeninggal gurunya ini, al-Ghazali berguru kepada Ahmad Ibn Muhammad al-Razakanya al-Thusi dan dilanjutkan kepada Abu Nashral-Isma’ily di Jurdan dan akhirnya ia masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh imam al-Haramaini (Imam dua kota haram: Makkah dan Madinah), dari beliaulah al-Ghazali menimba ilmu pengetahuan seperti ilmu fiqh, ilmu kalam dan ilmu logika. Pada sekolah ini pulalah al-Ghazali belajar teori dan praktek tasawuf kepada Abu Ali al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali al-Farmadhi (w.477 H). dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya selama di Naisabur dan di sekolah ini pulalah beliau diangkat menjadi dosen dalam usia 25 tahun. Setelah gurunya, al-Juwaini wafat, al-Ghazali ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan Nizham al-Mulk, Perdana Mentri Sultan Bani Saljuk.[6]
Al-Ghazali hidup di masa dinasti Saljuq berkuasa. Pada masa ini sebenarnya tidak hanya terjadi disintegrasi di bidang politik umat Islam, tetapi juga bidang sosial keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam bebrapa golongan mazhab fiqh dan aliran kalam, masing-masing dengan tokoh ulamanya, yang dengan sadar menanamkan fanatisme golongan kepada umat. Tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa cenderung untuk berusaha menanamkan pahamnya kepada rakyat dengan segala upaya, bahkan dengan cara kekarasan. Seperti yang dilakukan oleh Al-Kunduri, wazir dinasti Dinasti Saljuq pertama yang ebraliran mu’tazilah, sehingga mazhab dan aliran lainnya jadi tertekan, serta meminta banyak korban.
Nizam Al-Mulk  juga melakukan hal yang serupa, Cuma dengan cara yang baik, yaitu dengan mendirikan Madrasah Nizamiyah di Nisabur. Di  madrasah ini para tokoh ulama mazhab Syafi’i dan aliran Asy’ari dengan leluasa mengajarkan doktrin-doktrinya. Demikian juga yang dilakukan oleh dinasti Fatimiyah, dengan mendirikan Jami’ al-Azhar di Kairo pada tahun 972 M. dengan tujuan untuk menyebarkan paham sekte Syi’ah Isma’iliyah yang dianut penguasa.
Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat  Islam pada masa Al-Ghazali yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural non-islami mauk ke dalam pemikiran Islam. Di antara unsur kultural yang paling berpengaruh adalah filsafat, baik filsafat Yunani, Maupun filsafat India dan Persia. Filsafat Yunani banyak diserap oleh para theology, filsafat india di adaptasi oleh kaum  sufi, dan filsafat Persia banyak mempengaruhi doktrin Syi’ah dalam konsep imamah. Tetapi yang lebih penting lagi, pada masa itu dalam propaganda pahamnya, masing-masing aliran menggunakan filsafat (terutama logika) sebagai alatnya, sehingga semua intelektual, baik yang ,menerima maupun yang menolak unsur-unsur filsafat dalam agama, harus mempelajari filsafat lebih dahulu.[7]
Sosok al-Ghazali memiliki keistimewaan yang luar biasa, ia seorang ulama, pendidik, ahli fikir dalam ilmunya, dan pengarang yang produktif. Al-Ghazali banyak sekali meninggalkan warisan dalam bentuk karya ilmiah yang banyak memberikan kontribusi positif bagi pemikiran umat Islam seperti Ihya Ulum al-Din, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Al-Munqiz min al-Dhalal, Mizan al-‘Amal.[8]
2.      Karya-karya Imam  Al-Ghazali
Karya-karya imam Al-Ghazali sangatlah banyak jumlahnya. Karangan-karangannya meliputi berbagai macam lapangan ilmu, seperti ilmu kalam (theologi Islam), fiqh (hukum Islam), tasawuf, akhlak dan autobiografi. Seebagian besar karangannya adalah berbahasa Arab dan sebagian lainnya berbahasa Parsi. Di antara sekian banyak karya Al-Ghazali tersebut yang terkenal adalah:
a)      Ihya ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), yang merupakan karyanya yang monumental.
b)      Al-Munqidz min al-dhalaalah (pembebasan dari kesesatan)
c)      Tahaaful al-Falaasifah (rubuhnya para filosof)
d)     Maqaashid al-Falaasifah (sebuah risalah tentang logika, ilmu-ilmu alam, metafisik dan sebagainya)
e)      Al-Wajiz (pelajaran ilmu tauhid)
f)       Mizan al-‘amal (sebuah risalah tentang logika).[9]
Di antara sekian banyak karyanya ini, yang membuat Imam al-Ghazali hidup terus adalah karyanya ihyaa’ uluumuddin, yang penuh dengan mutiara-mutiara kebijakan dan ditaburi dengan penafsiran-penafsiran sufistik dan filosofis tentang kehidupan.
3.      Pemikiran Al-Ghazali
a)      Antara akal dan naql
Al-Ghazali, sebagaimana halnya para penganut aliran Asy’ariyah, menyelaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia bisa mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain, yang jika lepas dari sumbat angan-angan dan khayalan maka ia bias mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun Al-Ghazali menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naql-lah yang bisa melewati batas-batas ini. Mengenai problema sifat-sifat Allah, Al-Ghazali memegang pendapat yang dianut oleh al-Asy’ari, sehingga dia tidak menerima pendapat aliran Hasywiyah yang berpegang teguh pada arti dari suatu teks (ayat al-Qur’an dan sunnah) agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat. Demikian juga Al-Ghazali tidak menerima pendapat Mu’tazilah yang berlebih-lebihan dalam menyucikan Allah, sehingga mereka harus menafikan sifat-sifat Allah. Yang paling baik menurut Al-Ghazali adalah tengah-tengah. Menurut Al-Ghazali, Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Alam ia ciptakan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebeb bagi segala yang ada, sedang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.[10]

b)      Teori Ketuhanan
Dalam membuktikan adanya Tuhan, Al-Ghazali juga memegang pendapat Asy’ariyah, yakni tertumpu pada bukti teleology (kalamiah). Untuk itu dia menyatakan bahwa alam yang rumit penciptanya dan kokoh aturannya itu pasti bersumber pada sebab yang mengatur dan menata, sedangkan karya-karya yang kokoh menunjukkan ilmu dan hikmah si pencipta.[11]

4.      Kritik Al-Ghazali terhadap filosof
Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H/1058 – 1111 M) merupakan salah seorang filosof yang melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifat (The Inkoherence of the fhilosopher; Kerancuan Pemikir Para Filosof).[12] Disatu pihak, al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam (Argumen Islam), dan dinyatakan oleh Ibn ‘Asakir sebagai Mujahid (Pembaharu) Islam abad ke-5 H. tidak heran jika ia menduduki posisi penting di dunia Islam sepanjang sejarah hidupnya.[13] Sejak abad ke-13 M dunia Islam lebih didominasi kalam dan sufisme sehingga emperisme terhambat pekembangannya.
Persoalan yang timbul dalam melihat Al-Ghazali dan filsafat bersumber pada kritik Al-Ghazali terhadap filosof, bukan filosof Islam saja, tetapi juga filosof Yunani, seperti yang terkandung dalam bukunya Tahaafut  al-Falaasifah”. Timbul pertanyaan-pertanyaan seperti: “Apakah serangan Al-Ghazali itulah yang membuat filsafat  tidak berkembang lagi di dunia Islam? Apakah Tahaafut  al-Falsaafah yang membuat  pemikiran rasional dan ilmu pengetahuan di dunia Islam tidak lagi berkembang sebagaimana pada zaman keemasan sebelumnya?
Hal yang mendorong Al-Ghazali mempelajari filsafat adalah keinginan untuk memperoleh kebenaran yang hakiki, tanpa bantuan guru, dalam masa kurang dari dua tahun. Kemudian apa yang dia pleajari itu  ia renungkan selama kurang lebih satu tahun. Yang ia pelajari bukan hanya filsafat  Al-Farabi dan Ibnu Sina, tetapi juga filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles. Ia jumpai pemikiran mereka tidak sesuai dengan apa yang dicarinya. Bahkan ia berpendapat bahwa dalam pikiran para filosof itu terdapat kekacauan. Lebih dari itu ia berpendapat bahwa ada di antara pemikiran mereka yang bertentangan dengan agama, hal yang membuatnya mengkafirkan filosof yang mempunyai pemikiran serupa. Yang dikafirkan Al-Ghazali bukan hanya Al-Farabi dan Ibnu Sina, tetapi juga filosof-filosof Yunani tersebut di atas. Terhadap Al-Farabi dan Ibn Sina, al-Ghazali memandang kedua filosof Muslim ini sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan Plato) di dunia Islam.[14]
Dalam bukunya tahaafut al-Falaasifah Al-Ghazali mengkritik para filosof itu karena pandangan mereka mengenai 20 masalah berikut:
A.    Pendapat mereka tentang
1.      Alam qadim (tidak bermula)
2.      Alam kekal (tidak berakhir)
3.      Tuhan tidak mempunyai sifat
4.      Tuhan tidak dapat diberi  sifat al-Jins (jenis) dan al-Fashl (diferensia)
5.      Tuhan tidak mempunyai maahiyah (hakikat)
6.      Tuhan tidak mengetahui Juz’yyaat (perincian yang ada di alam
7.      Planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauannya
8.      Jiwa-jiwa planet mengetahui semua juz’iyyaat
9.      Hukum tidak berubah
10.  Jiwa manusia adalah substansi yang  berdiri sendiri, bukan tumbuh dan bukan pula ‘ardh (accident)
11.  Mustahilnya jiwa manusia hancur
12.  Tidak adanya kebangkitan jasmani
13.  Adanya tujuan dari gerak planet-planet

B.     Ketidak sanggupan mereka membuktikan:
1.      Tuhan adalah pencipta alam, dan alam adalah ciptaan tuhan
2.      Adanya tuhan
3.      Mustahilnya ada dua tuhan
4.      Tuhan bukanlah tubuh
5.      Tuhan mengetahui wujud lain
6.      Tuhan mengetahui essensi-Nya
7.      Alam yang qadim mempunyai pencipta.
Tidak semua pendapat tersebut dalam bagian A dapat membawa kepada kekufuran. Hanya tiga pendapat, yaitu:
1.      Pendapat bahwa alam dan semua substansi qadim
2.      Tuhan tidak mengetahui juz’iyyaat
3.      Kebangkitan jasmani tidak ada.
adapun pendapat mereka yang lain, kata Al-Gazali selanjutnya, adalah dekat dengan pendapat Mu’tazilah, karena mempunyai pendapat demikian maka tidak perlu dikafirkan.

1.      Pendapat bahwa alam dan semua substansi qadim
a)      Masalah keqadiman Alam
Pada umunya para Filosof Muslim berpendapat bahwa alam ini qadim, artunya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Kekadiman Allah dari alam ini hanya dari segi zat  (taqaddum zaty) bukan dari segi waktu (taqaddum zamany), seperti keterdaluan sebab dari akibat dan cahaya dari matahari. Untuk menopang hal ini, menurut Al-Gazali, para Filosof Muslim berargumen bahwa “mustahil timbul yang baharu dari yang qadim.” Dalam artian jika Allah itu qadim, maka terjadinya alam merupakan suatu keniscayaan dan hal ini menjadi qadim keduanya (Allah dan Alam).
Jika diandaikan Allah yang qadim sudah ada, sedangkan alam belum lagi ada, karena hanya merupakan kemungkinan semata, dan setelah itu alam diadakan-Nya, maka apa alasannya bahwa alam diadakan sekarang, tidak sebelumnya? Jika dikatakan kekuasaan baru ada tidak sebelumnya, bagaimana terjadi kekuasaan itu? Jika dikatakan Allah sebelumnya tidak berkehendak dan baru kemudian berkehendak itu, mengapa terjadi kehendak itu, apakah kehendak itu dari zat-Nya atau dari luar zat-Nya? Keduanya adalah mustahil karena Allah tidak mengalami perubahan.
Al-Gazali meanjawab argument Filosof Muslim di atas dengan argumennya sendiri. Menurut Al-Gazali, tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam dari sejak alam azali dengan iradah-Nya yang kadim pada waktu diadakannya. Sementara itu ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut Al-Gazali adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat anatara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada suatu sifat khusu yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikan para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal memiliki arti yang sama. Oleh karena itulah jika Allah menetapkan ciptaan-Nya dalam satu waktu dan tidak dalam waktu yang lainnya, tidaklah mustahil terciptanya yang baru dari zat yang qadim.  Alasannya, iradah Allah bersifat muthlak dan tidak dihalangi oleh waktu dan tempat.[15]
b)      Qadimnya wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari segi zaman (taqaddum zamany) antara keduanya adalah sama.
Hal ini sama seperti keterdahuluan bilangan satu dari dua, atau keterdahuluan gerakan tangan dari cincin. Kedua jenis serupa tingkatannya dalam zaman. Jika demikian keadaan antara Allah dan alam, harus keduanya qadim atau baharu. Andai Allah mendahului alam dari segala zaman, bukan dari segi zat, ini berarti ada zaman sebelum alam diwujudkan. Pada waktu itu alam harus belum ada karena ketiadaan melalui wujud. Oleh sebab itu, Allah mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas pada sisi awal ini berarti sebelum ada zaman sudah ada zaman yang tidak terbatas akhirnya. Hal ini paradoks. Justru itu mustahil zaman sebagai ukuran gerak baharu dan ia harus qadim.
Pendapat filosof yang dikemukakan Al-Gazali di atas, dia jawab sendiri. Menurutnya, memang wujud Allah lebih dahulu dari alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan. Sebelum zaman diciptakan tidak ada zaman. Pertama kali adalah Allah, kemudian ada alam karena diciptakan Allah. Jadi, dalam keadaan pertama kita bayangkana adanya Allah saja, dan dalam keadaan kedua kita bayangkan ada dua esensi, yakni Allah dan alam, dan tidak perlu kita bayangkan adanya esensi yang ketiga, yakni zaman. Zaman adanya setelah adanya alam, sebab zaman adalah ukuran waktu yang terjadi di alam.[16] Menurut Al-Gazali, mengandaikan zaman sebelum zaman merupakan khayalan pemikiran semata, yang diasumsikannya benar-benar ada , padahal realitanya tidak ada sama sekali. Sama sifatnya, mengandaikan (mengkhayalkan) adanya ruangan-tempat kosong atau berisi- di sisi atas atau sisi bawah, kanan atau kiri dari  globe bumi ini.
2.      Tuhan tidak mengetahui juz’iyyaat
Menurut yang diinformasikan Al-Gazali, bahwa  para Filosof Muslim berpendapat Allah hanya mengetahui zatnya dan tidak mengetahui yang selain-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang Kulli. Alas an Filosof Muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di ala mini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Dijawab oleh Al-Gazali, bahwa pendapat para Filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut Al-Gazali, perubahan pada objek ilmu tidak membawa pada perubahan ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Logikanya adalah, bila seorang berada di kanan anda, lalu berpindah ke kiri, kemudian berpindah ke depan atau belakang, maka yang berubah adalah dia bukan anda. Demikian pula dengan ilmu  Allah. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmunya sejak zaman azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya mengalami perubahan.[17] Untuk memprkuat argumennya, Al-Ghazali mengemukakan ayat al-Qur’an surat Yunus: 61, dan Al-Hujuraat: 16
Sebenarnya Al-Ghazali dan para Filosof Muslim sama-sama sepakat bahwa zat Allah tidak mungkin mengalami perubahan dan Allah maha mengetahui. Perbedaan di anatara mereka terletak pada cara Allah mengetahui yang juziyyat. Bagi para Filosof Muslim Allah mengetahui yang juziyyat (parsial) melalui kulli (umum) dan mereka tidak pernah mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui. Hal ini terjadi karena perbedaan mereka dalam menetapkan sifat dan zat tuhan. Para Filosof mengidentikan antara zat dengan sifat. Sedangkan menurut Al-Ghazali Allah memiliki zat beserta sifat, bukan zat tanpa sifat. Nama-nama Allah tidak dibenaarkan tanpa sifat-sifat ilahiyah. Sifat-sifat tersebut qadim dan mempunyai wujud di luar zat (qaaimat bizaatih). Atas dasar inilah Al-Ghazali menolak pendapat para Filosof Muslim yang mengidentikkan antara zat dengan sifat Allah.
3.      Kebangkitan jasmani di akhirat
Menurut para Filosof Muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi, yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran dari agama berupa materi di akhirat, seperti surge dan neraka, semua itu pada dasarnya simbol-simbol untuk memudahkan pemahaman orang awam. Padahal, akhirat terlalu suci dari apa yang digambarkan oleh orang awam.
Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi daripada kelezatan di dunia empiris. Juga tidak pula  menolak kekalan roh setelah berpisah dari jasad. Semua itu dapat diketahui berdasarkan otoritas dari jasad. Akan tetapi, Ia membantah bahwa akal saja dapat memberikana pengetahuan final dalam masalahmetafisika.
Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para Filosof Muslim lebih banyak bersandar pada arti tekstual al-Qur’an. Menurut Al-Ghazali, tidak ada alas an untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah berfirman: “tidak seorang pun  mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata.” Demikian juga firman-Nya: “Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shaleh apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak terlintas dalam hati manusia.” Janji-janji Allah yang maha sempurna, perpaduan di antara dua hal (jasmani dan rohani) adalah yang paling sempurna dan mesti mungkin. Karenanya wajib membenarkan kemungkinan ini sesuai dengan agama.
5.      Perkembangan Filsafat di Timur Setelah al-Ghazali
Setelah serangan Al-Gazali ini terhadap pemikiran para filosof mengakibatkan filsafat tidak berkembang lagi di dunia Islam bagian timur. Walaupun si penyerang sendiri terpengaruh oleh orang-orang yang diserangnya, yang dengan demikian ini nampak lebih filosof dibanding para filosof. Serangan ini meninggalkan akibat-akibat yang menghambat perjalanan kajian filosofis di dalam Islam, dan sebagian generasi yang datang belakangan yang berusaha untuk menolak semua kajian rasional bersikap ekstrim dalam menanggapinya. Ibrahim Madkour menyatakan Al-Ghazali pantas menyerang Al-Farabi dan Ibn Sina, karena mereka mencukupkan diri dengan teori penciptaan, yakni teori emanasi ala Plotinus, dan pendapat ini tidak bisa merealisasikan penciptaan yang dimaksudkan oleh al-Qur’an maupun penciptaan yang berlandaskan pada kemampuan dan kehendak Allah. Alasan kedua adalah, membatasi pengetahuan Allah hanya pada universalia-universalia saja, atau usaha untuk menyederhanakannya melalui universalia-universalia itu ke dalam partikularia-partikularia. Teori ini sama sekali tidak bisa merealisir apa yang dikukuhkan oleh al-Qur’an bahwa Allah mengetahui segala sesuatu.[18]
Berbeda dengan dunia Islam bagian Timur, di dunia Islam bagian barat, yang berpusat di Cordoba, filsafat sesudah Al-Ghazali muncul dan berkembang kembali. Dikenallah filosof-filosof Andalusia seperti Ibnu Bajjah, Ibn Thufail, dan Ibn Rusyd. Bahkan Ibn Rusyd mengarang Tahaafut al-Tahaafut untuk menentang pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan untuk membela pendapat-pendapat para filosof yang dikritik hujjat al-Islaam itu. Masalah-masalah yang dipertentangkan itu dia singgung pula dalam bukunya “Kitaab Fashl al-Maqaal.”[19]
B.     Ibnu Rusyd
1.      Riwayat Hidup Ibn Rusyd
Ibnu Rusyd lahir pada masa pemerintahan Bani Umayyah II yang didirikan kembali oleh Abdurrahman Al-Dakhil yang berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian Bani Abbas ke Spanyol, tepatnya pada masa pemerintahan Abdurrahman III. Pada masa ini Abdurrahman menegembangkan ilmu pengetahuan dan seni di Spanyol. Dialah yang mendirikan Universitas Cordoba tempat Ibnu Rusyd menuntut ilmu dan akhirnya menabuh gendering semangat rasionalisme ke masyarakat spanyol.  Pemikiran Ibn Rusyd ini sangat berpengaruh di Spanyol hingga abad ke 17.[20]
Ibnu Rusyd atau Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd atau Abu al-Walid atau Averros (begitu ia dikenal di Barat) ini lahir di Cordova, 1126 M (520 H), sekitar 15 tahun setelah wafatnya Abu Hamid al-Ghazali. Ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M / 09 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah. Ibn Rusyd berasal dari keluarga ilmuan, dan ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim.[21]
Ayah dan kakeknya adalah para pecinta ilmu dan merupakan ulama yang sangat disegani di Spanyol. Ayahnya Ahmad ibn Muhammad (487-563) adalah seorang faqih (ahli hukum Islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara kakeknya, Muhammad ibn Ahmad (w. 520- H/1126 M) adalah ahli fiqh mazhab Maliki dan imam mesjid Cordova serta pernah menjabat sebagai hakim agung di Spanyol. Jadi tidak mengherankan kalau darah ilmuan mengalir deras dalam tubuh Ibn Rusyd, sehingga ia pun tumbuh menjadi seorang ahli hukum Islam, dokter, ahli matematika, astronomi dan filsafat. Sebagaimana ayah dan kakeknya, Ibnu Rusyd sendiri pernah menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur.
Pendidikan awalnya dimulai dengan belajar al-Qur’an dan ilmu fiqh mazhab Maliki  pada ayahnya sendiri. Ia juga berguru pada Muhammad ibn Rizq dalam disiplin ilmu perbandingan hukum Islam dan kepada Ibn Basykuwal di bidang hadits. Dalam bidang kedokteran dan filsafat ia belajar pada Abu Ja’far Harun al-Tardjalli, Ibn Zhuhr, dan membaca karangan Ibnu Sina, Al-Qanuun fi al-Thibb. [22]  Ibn Rusyd cukup menguasai ilmu kalam, namun ia tidak mengikuti salah satu aliran kalam di masa itu. Dia menulis Manahij al-Adillah fi ‘Aqa’id al-Millah yang menguraikan pemikirannya di bidang ilmu kalam.[23]
Sultan Andalus, Abu Ya’qub Yusuf merekrut semua ilmuan untuk memajukan daerah kekuasaannya seperti majunya kota Bagdad, serta mengutus berbagai kelompok orang ke berbagai daerah untuk mengumpulkan buku-buku ilmiah dalam berbagai bidang ilmu agar buku-buku itu dibawa ke Andalusia. Ibn Rusyd sendiri diberi tugas menyelidiki dan mengoreksi karya-karya Aristoteles  sehingga dapat difahami lebih baiak. Atas keberhasilannya menulis ulasan dan komentar terhadap karya-karya Aristotele itu, ia menjadi lebih terkenal di kalangan masyarakat Eropa disbanding dengan masyarakat Muslim dunia Timur.
Syarif berpendapat, seperti yang dikutip Afrizal M. setidaknya ada dua faktor yang membuat pemikiran Ibn Rusyd lebih dapat diterima di Eropa disbanding di dunia Islam sendiri. Pertama, karya-karya Ibn Rusyd banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, kemudia diedarkan, disebarluaskan, dan diletarikan, sedang teks aslinya yang berbahasa Arab dibakar. Kedua, Eropa pada zaman renaissance mudah menerima filsafat dan metode ilmiah, sedang dunia timur, filsafat dan ilmu mulai dikuburkan sehingga gerakan mistis berkembang secara leluasa di masyarakat Islam.[24] 
Hubungan dekat Ibn Rusyd dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah.[25] Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.[26]
Para ulama konservatif tersebut menuduh Ibn Rusyd berpendapat bahwa Venus adalah Tuhan yang suci, dan menuduh bahwa Ibn Rusyd menyangkal kebenaran historis kaum ‘Ad yang disebut di dalam al-Qur’an. Tipu daya yang dilancarkan kaum agamawan itu berhasil mempengaruhi penguasa, sehingga Ibn Rusyd dan bebrapa filosof lainnya diasingkan ke Lucena dan buku-bukunya di bakar di depan umum. Berbagai pernyataan untuk menentang filsafat dan para filosonya dikeluarkan di Andalusia dan Marakesy dan berbagai kajian yang dianggap membahayakan dilarang. Hukum pengasingan yang dijalani Ibn Rusyd ini berakhir setelah sultan Al-Mansur, pengganti Abu Ya’qub Yusuf mengampuni Ibn Rusyd dan memanggilnya ke istana kembali untuk bekerja seperti biasa.
2.      Karya-Karya Ibn Rusyd
a)      Tahaafut altahaafut
Buku ini merupakan puncak kematangan pemikiran filsafat Ibn Rusyd. Isi buku ini merupakan “serangan balasan” atas serangan Al-Ghazali terhadap para filosof sebagaiman dalam bukunya Tahaafut al-Falsafah. Dalam buku ini Ibn Rusyd membela filosof atas tuduhan Al-Ghazali dalam masalah-masalah filsafat. Buku ini ditulis sekitar tahun 1180.

b)      Fashl al-Maqaal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-Syar’iyyah min al-Ittishal
Dalam buku ini Ibn Rusyd mencoba menjelaskan hubungan antara akal dan wahyu. Ibn Rusyd menegaskan bahwa akal adalah teman seiring yang tidak saling bertentangan dengan wahyu.

c)      Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqai’id al-Millah (Menyingkap Metode-metode Demonstratif yang Berhubungan dengan Keyakinan Pemeluk Agama). Buku ini ditulis Ibn Rusyd di Seville tahun 1179/575 H.

d)     Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (tingkat Awal Bagi Seorang Mujtahid dan Tingkat Akhir bagi Kaum Awam).
Ini adalah bukunya di bidang fiqh Islam dan satu-satunya karyanya di bidang ini yang masih ada. Dalam buku ini, Ibn Rusyd memaparkana masalah dengan metode perbandingan lalu diiringi pendapatna sendiri.[27] Dan masih banyak lagi karya-karyanya yang tidak disebutkan dalam makalah ini.

3.      Pemikiran Ibn Rusyd
Ibn Rusyd banyak menyuarakan untuk kembali kepada al-Qur’an, yaitu memahamai makna harfiahnya karena pengetahuan pertama yang harus dimiliki oleh setiap orang yang berakal adalah pengetahuan tentang  hal-hal yang membuatnya menjadi yakin kepada ekistensi Tuhan. Ibn Rusyd juga menyuarakan untuk tidak melakukan pemilahan antara akal dan nash seperti yang dilakukan mutakallimun karena hakikat kebenaran itu hanya satu.
a)      Wujud Allah
Seluruh mazhab kalam telah membahas wujud Allah. Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang dianggap sering berilang pendapat mengemukakan bahwa al-Jawhar al-Fard adalah salah satu argument akan wujudnya Tuhan. Namun demikian, Ibn Rusyd berpendapat bahwa argument Mu’tazilah dan Asy’ariyah ini bukan berasal dari Islam, tetapi bersumber dari filsafat Yunani yang disodorkan oleh Demokratos.
Bagi Ibn Rusyd merujuk pembahasan wujud Allah kepada al-Qur’an. Namun demikian, tidak berarti bahwa Ibn Rusyd mengabaikan argument Rasional. Salah satu ayat yang menjadi dasar Ibn Rusyd untuk membuktikan wujud Tuhan adalah ayat yang mendorong manusia untuk berfikir, yaitu:
تباركَ الّذى جَعلَ فى السَّمـــآءِ بُرُوجاً وجعلَ فيها سِراجا وقمرًا منيراً.
“Mahasuci Allah yang menjadikan gugusagugusan bintang di langit, dan Dia menjadikan matahari yang bercahaya dan bulan yang menyinari.” (QS. Al-Furqan:61)
Keberadaan dan keindahan alam semesta ini menunjukkan bahwa alam ini berkembang, dalam arti selalu berubah. Ibn Rusyd menyimpulkan bahwa karena alam ini berubah, maka alam adalah baharu. Setiap yang baharu pasti diciptakan oleh sang pencipta. Pencipta tersebut haruslah azali, dan dia tidak memerlukan pencipta.[28]
Ibn Rusyd menyebut argumen yang diambil dari al-Qur’an itu dengan dalil ‘inayah dan ikhtira’.[29] Pada argumen ‘inayah (memelihara dan menjaga) bahwa keberadaan alam semesta ini sesuai dengan keberadaan manusia. Semua itu seolah-olah diciptakan untuk kepentingan manusia. Kesemuanya itu tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi sejatinya ada yang menghendaki keberadaannya. Dalam kehidupan manusia, kita memang menemukan sesuatu terjadi secara kebetulan di mana keberadaannya tidak disengaja, namun kebetulan itu hanya berlaku pada satu atau dua peristiwa saja.
Selain itu, Ibn Rusyd membawa dalil ikhtira’ (penciptaan), maksudnya penciptaan pertama. Pada dalil ini, Ibn Rusyd lebih menitikberatkan kepada penciptaan yang belum ada sebelumnya. Yang dilihat di sini adalah proses dari keberadaan alam semesta semenjak dari materi asal hingga masa kehancuran. Allah yang menciptakan semuanya karena hanya Dia-lah yang mahakuasa dan mampu menciptakan sesuatu. Selain Allah, tidak ada yang bisa menciptakan walau hanya seekor lalat. Dalam al-Qur’an Allah menegaskan yang artinya:
“.....Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk itu.....” (QS. Al-Hajj: 73)
4.      Jawaban Ibn Rusyd Terhadap Sanggahan Al-Ghazali
Ibn Rusyd sebagai filosof besar Islam yang terakhir, harus menjawab serangan Al-Ghazali di atas demi membela filsafat dan para filosof secara umum, khususnya Aristoteles. Dalam pembelaannya, ia adalah ahli debat yang mahir dan Aristotalian tulen. Ia menguasai detail pendapatnya dan mengoreksi perubahan dan penyimpangan yang melandanya, tidak ada perbedaan pendapat bahwa ia merupakan orang terdepan dari mereka yang menggeluti Aristoteles. Ia tidak peduli menyalahkan al-Farabi dan Ibn Sina selama bertujuan membela dan meluruskan sejarah. Walaupun memang ia benar-benar tidak bisa terlepas dari keduanya dan sejalan dengan pendapat keduanya. Adapun jawaban Ibn Rusyd terhadap kritikan Al-Ghazali berikut akan dijelaskan dalam taiga butir masalah di atas:
a)      Alam Qadim
Ibn Rusyd, seperti kedua filosof muslim itu (Al-Farabi dan Ibn Sina) berpendapat bahwa alam itu qadim; materi dan bentuk alam adalah azali. Di dalam syara’ tidak ada dalil yang menetang secara tegas hal itu, bahkan dalil-dalil yang membicarakan itu bisa ditakwilkan. Perbedaan antara kaum filosof dan mutakllimin dalam aspek ini adalah perbedaan lafziah. Kekadiman alam tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa dia adalah makhluk yang diciptakan Allah secara Azali, tidak melalui emanasi seperti anggapan Al-Farabi dan Ibn Sina, tetapi ia menghubungkan satu sama lain bagian alam itu sejak azali dalam kepastian. Ia menggerakkannya tanpa terputus-putus, di mana bentuk bertumpu dengan materi sehingga lahirlah ada, atau terpisah darinya lahirlah tiada, karena ia adalah pencipta, penggerak pertama, dan perubah alam. Ia menggerakkannya secara langsung atau melalui ‘uquul al-Mufaariqah dan semuanya akan kembali kepadanya. Ia mengatur alam secara kontinu (istimrar). Kalau bukan karena pengatur dan perhatiannya, mana mungkin ada matahari dan rembulan, hidup dan mati.[30]
Dalam teori Azaliyah al-Maaddah-nya (dahulunya zat asal sesuatu), Ibn Rusyd menyatakan bahwa zat asal sesuatu (maadah) ada dengan zatnya sejak zaman azali sebelum adanya alam, adanya itu dengan ketiadaan permulaan. Kalau sekiranya maaddah alam ada permulaan maka alam mesti tercipta dari tiada, dan ini tidak biasa diterima dalam kebenaran ilmu karena secara teori “tidak akan ada yang wujud dari yang tiada sebagaimana tidak aka nada tiada setelah ada” (لا وجود من عدم كما لا عدم من وجود).[31]
Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali kelitu menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari yang tiada, menurut filosof Muslim  adalah suatu hal yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itulah, materi asal alam ini mesti qadim.[32] Untuk mendukung pendapatnya ini, Ibn Rusyd mengemukakan sejumlah ayat Al-Qur’an: QS. Hud: 7, Ibrahim: 48, dan Fusilat: 11.
Dari ayat pertama dapat diambil pemahaman bahwa sebelum adanya sesuatu sebelum sesuatu yang lain, yaitu Arsy dan air, dan telah ada sebuah zaman sebelum adanya zaman, yaitu berupa sejumlah tempat jalan bintang (poros). Pada ayat kedua juga mengindikasikan bahwa adanya wujud yang kedua setelah wujud pertama. Sedangkan ayat ketiga mengisyaratkan bahwa langit tercipta dari sesuatu.[33]
b)      Tuhan tidak mengetahui Perincian yang Terjadi di Alam
Secara principal, ia berpendapat bahwa ide ketuhanan mesti digambarkan dalam dua pola yang berbeda. Pertama, untuk umum khithabi, sedangkan yang kedua untuk khusus yaitu burhani (demonstratif).[34]
Menurut Al-Ghazali para Filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang juz’i (parsial) di alam. Dalam menjawab tuduhan ini, Ibn Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah faham dan keliru. Karena sebenarnya para Filosof berpendapat bahwa Allah mengetahui juz’iyyat hanya dengan cara yang berbeda dengan cara kita mengetahui juz’iyyat. Pengetahuan Allah bersifat qadim yakni sejak zaman azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di ala mini, betapa pun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat. Pengetahuan Allah tidak bisa dikatakan juz’i (parsial) dan kulli (umum). Juz’i  adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa dengan pancaindera. Kulli mencakup berbagai jenis. Dia bersifat abstrak, yang dapat diketahui hanya melalui akal. Allah bersifat immateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibn Rusyd, tidak ada para Filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kulli.[35]
Dari uaraian di atas jelaslah perbedaan anatara Al-Ghazali dan para Filosof Muslim tentang ilmu Allah. Al-Ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para Filosof Muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun, pada dasarnya mereka sepakat bahwa Allah Maha Mengetahui (parsial dan umum) segala yang terjadi di alam ini, namun mereka berbeda pendapat tentang cara Allah mengetahuinya. 
c)      Kebangkitan jasmani tidak ada.
Menurut Al-Ghazali, salah satu unsur yang menyebabkan orang menjadi kafir adalah karena mengingkari adanya kebangkitan jasmani di akhirat kelak. Hal ini banyak terjadi di kalangan filosof.
Ibn Rusyd menyangkal pendapat Al-Ghazali itu, bahwa pendapat itu bukan dari para Filosof, karena kebangkitan jasmani telah tersiar kurang lebih seribu tahun yang lalu (dari masanya), sedang usia filsafat kurang dari masa itu, di mana orang yang partama-tama mengatakan adanya kebanagkitan jasmani ialah nabi-nabi Bani Israel yang datang sesudah nabi Musa as. Sebagaimana yang di dalam kitab zabur, dan kitab-kitab lainnya dari Bani Israel. Injil juga telah menyebutkan adanya kebangkitan jasmani.[36] Artinya, semua agama mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda pendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani dan ada pula yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang jelas, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini sesuai dengan hadits: “di sana akan dijumpai apa  yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas di dalam fikiran.[37] Ini semua menunjukkan bahwa alam akhirat adalah alam lain yang lebih tinggi daripada alam dunia, dan adanya saat fase yang lebih utama daripada fase di dunia ini.


III.    KESIMPULAN
Imam Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah telah menyatakan kekafiran kepada para filosof disebabkan tiga hal, yaitu adanya keyakinan mereka bahwa alam adalaah qadim (ada tanpa permulaan), Allah tidak mengetahuisegi-segi juz’iyyat dan interpretasi mereka tentang kebangkitan jasmani (dari kubur) serta kehidupannya sesudah mati.
Pengkafiran dalam masalah kebangkitan jasmani tidak beralasan, karena masalah ini bagi para Filosof adalah persoalan teori. Juga masalah kedua lamanya yaitu tentang tuhan dalam mengetahui perkara-perkara juziyyat, karena pendapat yang mengatakan dalam Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara juziyyat bukan pendapat para Filosof, dan tentang qadimnya alam ada perbedaan tentang pengertian qadimnya alam yang difahami oleh para ulama dengan para Filosof.
Serangan Al-Gazali ini terhadap pemikiran para filosof mengakibatkan filsafat tidak berkembang lagi di dunia Islam bagian timur. Tetapi di dunia Islam bagian barat, yang berpusat di Cordoba, filsafat sesudah Al-Ghazali muncul dan berkembang kembali. Dikenallah filosof-filosof Andalusia seperti Ibn Rusyd, yang mengarang Tahaafut al-Tahaafut untuk menentang pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan untuk membela pendapat-pendapat para filosof yang dikritik hujjat al-Islaam itu.

DAFTAR RUJUKAN
Anwar, Saepul,. 2007. Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung: Pustaka Setia. cet. I
Iqbal, Muhammad,. 2004. Ibn Rusyd & Averoisme: Sebuah Pemberontakan Terhadap Agama. Jakarta: Gaya Media Pratama. cet. I
Qayyum, Abdul,. 1993. Surat-surat Al-Ghazali, terj. Oleh  Haidar Bagir. Jakarta: Penerbit Mizan. cet. V
Zurkani Jahja, HM,. 1996. Theologi Al-Ghazali; Pendekatan Metodologi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. cet. I
Zar, Sirajuddin,. 2004. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo
Madkour, Ibrahim,. 2004. Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Oleh yudian Wahyudi Asmin. Jakarta: Bumi Aksara. cet. III
Nasution, Harun,. 1983. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Universitas Indonesia
Iqbal, Muhammad,. 2004. Ibn Rusyd dan Averroisme. Jakarta: Gaya Media Pratama
Mahmud al-Aqqad, Abbas,. 2003. Ibnu Ruysd: Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter (terj), Khalifurrahman Fath, judul asli Ibnu Rusyd. Yogyakarta: Qirtas
M, Afrizal,. 2006. Ibn Rusyd; Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga
Madjid, Nurcholish,. 1994. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Cet. III
Baishar, Muhammad,. 1973.  fi Falsafah ibn Rusyd al-Wujuud wa al-Khuluud. Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnan. Cet. III
Mustofa, A,. 1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. Cet. I


[1] Saepul Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. I. h. 14
[2] Ibid., h. 16
[3] Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averoisme: Sebuah Pemberontakan Terhadap Agama, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004)., cet. I., h. 46
[4] Abdul Qayyum, Surat-surat Al-Ghazali, terj. Oleh  Haidar Bagir, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1993), cet. V, hal. 1. Ada juga yang menyatakan Al-Ghazali lahir di tahun 1059 M, di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di dekat Thus, Khurasan, kawasan Iran saat ini. Lihat  Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Op.cit.,  hal 201.
[5] HM. Zurkani Jahja, Theologi Al-Ghazali; Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), cet. I, hal 64
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hal. 156 - 157
[7] Ibid., hal. 69
[8] Ibid., h. 159
[9] Abdul Qayyum, op. cit., hal. 12-13
[10] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Oleh yudian Wahyudi Asmin, (Jkarta: Bumi Aksara, 2004) , cet. III, hal.74-75
[11] Ibid., hal. 73-74
[12] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 159
[13] Saeful Anwar, op.cit., h. 16
[14] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), hal. 377-378
[15] Sirajuddin Zar, dikutip dari A. Hanafi, Op.cit., hal.165
[16] Sirajuddin Zar, dikutip dari Tahafut al-Falasifah,  op.cit., hal. 165-166
[17] Ibid, hal 169
[18] Ibrahim Madkour, op.cit.,, hal.126-127
[19] Harun Nasution, op.cit., hal. 380
[20] Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hal.17
[21] Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibnu Ruysd: Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter (terj), Khalifurrahman Fath, judul asli Ibnu Rusyd, (Yogyakarta: Qirtas, 2003), cet, ke-1, h. 29
[22] Muhammad Iqbal, op.cit., hal. 22
[23] Afrizal M, Ibn Rusyd; Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Ilam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hal. 19
[24] Ibid, hal. 19-20
[25] Ibid, h. 32
[26] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet, ke-3, h. 37
[27] Ibid, hal. 29
[28] Afrizal M, Op.cit, hal. 93
[29] Ibid, hal 94-98
[30] Ibrahim Madkour, Op.cit., hal 130
[31] Muhammad Baishar, fi Falsafah ibn Rusyd al-Wujuud wa al-Khuluud, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnan, 1973), cet. III, hal. 67
[32] Sirajuddin Zar, dikutip dari Harun Nasution dalam bukunya “Al-Ghazali dan Filsafat”. Hal. 226
[33] Muhammad Baishar, hal. 67-68
[34] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat, hal. 127
[35] Sirajuddin Zar, dikutip dari Tahafut al-Tahafut karangan Ibn Rusyd. Hal. 229-230
[36] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. I, hal. 301
[37] Sirajuddin Zar, dikutip dari Tahafut al-Tahafut karangan Ibn Rusyd. Hal. 230

Tidak ada komentar:

Posting Komentar